Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, A. Muhajir menegaskan DPR RI perlu segera menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian sebagai undang-undang.
“Sejak Mahkamah Konstitusi menganulir Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012, masyarakat perkoperasian dipaksa kembali menggunakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Sementara kita ketahui bersama UU Nomor 25 tak lagi sesuai dengan tuntutan zaman, khususnya dalam kaitan pemberantasan jaringan rentenir yang berkedok koperasi yang semakin membelit masyarakat lapisan bawah,” papar Muhajir pada Media di Jakarta, Jum’at, 23 Agustus 2019.
Pemerintah sejak 2016 menjanjikan UU Perkoperasian baru segera terbit, namun kenyataannya hingga kini belum terealisasi. Padahal pemerintah bersama DPR telah membentuk tim teknis guna mewujudkan adanya UU Perkoperasian yang baru.
Muhajir menyatakan desakan agar pimpinan DPR, khususnya Panitia Kerja Perkoperasian dan Komisi VI segera mengetuk palu atas pengesahan UU Perkoperasian yang baru telah disuarakan berbagai pihak.
“Ada kekuatan besar yang menghambat terbitnya UU Perkoperasian yang baru. Mereka dipastikan pihak yang berdiri di belakang operasi jaringan rentenir. Operasi mereka masif dan terorganisir sangat baik, termasuk melalui permainan opini melalu berbagai media massa,” kata Muhajir, penulis buku “Mengeroyok UMKM: Terobosan 1 Miliar 1 Desa Wirausaha” yang diterbitkan Yayasan SUN (Solusi Untuk Negeri), beberapa bulan lalu.
Menjawab isi RUU Perkoperasian yang ditentang mafia rentenir, Muhajir mengungkapkan beberapa pasal yang telak bakal menghambat gerakan bisnis yang semakin memiskinkan masyarakat lapisan bawah ini.
Pada Pasal 1 Ayat 21 (Bab II) diatur usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah berkaitan dengan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana dari dan untuk anggota sesuai dengan prinsip syariah. Sementara penghimpunan dana koperasi rentenir dari beberapa orang pemilik sana, dan penyalurannya kepada masyarakat umum.
Pada Pasal 6 Ayat 3 (Bab II) disebutkan bahwa prinsip koperasi meliputi: 1) Keanggotaan sukarela dan terbuka; 2) Pengendalian oleh anggota secara demokratis; 3) Partisipasi anggota; 4) Otonomi dan kemandirian; 5) Pendidikan, pelatihan, dan informasi; 6) Kerja sama antarkoperasi; 7) Kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan.
“Mana ada rentenir yang menerapkan prinsip koperasi sebagaimana tertuang dalam RUU. Prinsip tersebut bertolak belakang dengan kegiatan mereka sehari-hari. Ini yang ditakutkan,” tegas Muhajir Anggota DPR RI periode lalu.
Ditambahkan, Pasal 55 Ayat 7 yang mengatur usaha simpan pinjam secara tegas tidak membuka ruang pelayanan kepada nonanggota. Kegiatan dan jasa usaha simpan pinjam atau unit simpan pinjam hanya dari dan untuk anggota saja.
Belum lagi, masih menurut Muhajir, Pasal 65 Ayar 3 menegaskan adanya pengawasan eksternal terhadap koperasi. Pemeriksaan dilakukan dalam hal dugaan, meliputi: 1) Membatasi keanggotaan atau menolak permohonan menjadi anggota yang telah memenuhi persyaratan keanggotaan sebagaimana ditetapkan dalam anggaran dasar; 2) Tidak melaksanakan rapat anggota dalam dua tahun berturut-turut.
Juga, 3) Tidak memiliki izin usaha atau operasional; 4) Menerbitkan produk yang menjanjikan keuntungan yang tidak wajar; 5) Tidak mengelola administrasi keuangan secara benar.
“RUU bukan cuma sekumpulan aturan operasional, tetapi juga menyiapkan sanksi pidana kepada para pelaku koperasi rentenir dan orang atau kelompok di belakangnya,” tutur Muhajir.
Muhajir mengatakan saat UU Perkoperasian yang baru terbit, masyarakat dapat melaporkan kelompok usaha rentenir yang menyimpang dari cita-cita koperasi. UU Perkoperasian yang telah dinanti bertahun-tahun diharap menjadi koridor bagi menguatnya posisi koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional.
“Saya akan segera komunikasi dengan sahabat sahabat dari bidang ekonomi PB NU, PERSIS dan Organisasi kemasyarakatan lainnya, Inshaa Allah mereka setuju RUU Perkoperasian segera disahkan jadi Undang Undang, karena yang di”Perangi” adalah para RENTENIR dan yang dibela ada RAKYAT” Tutup Muhajir dalam pernyataan nya. |ATA