By Asyari Usman
Indonesia akan melakukan apa saja untuk Papua asal jangan minta merdeka. Kira-kira begitulah suasana hubungan antara Jakarta dan orang Papua saat ini. Sejak peristiwa kerusuhan di Manokwari, Sorong, dan tempat lain, bisa dibayangkan wajah para penguasa Indonesia.
Mereka semua pucat. Pucat-pasi. Takut orang Papua mengamuk besar-besaran. Suasana pucat itu bisa terlihat dari reaksi diam pihak keamanan ketika menghadapi tindakan makar orang Papua. Pembakaran gedung DPRD di Manokwari cenderung dibiarkan. Pembakaran bendera Merah-Putih juga tidak diapa-apakan.
Takut sekali gejolak Papua Merdeka berkembang liar. Para penguasa, penegak hukum, para pengawal NKRI baik itu institusi negara maupun pengawal swasta semisal Banser, pada waktu ini berada pada posisi tak berani maju. Bukan karena mereka tidak kuat atau tidak memiliki peralatan. Tetapi karena mereka harus menghindari perangkap eskalasi tindak kekerasan.
Sebab, begitu tindak kekerasan mulai memakan korban, terutama di pihak Papua, hampir pasti konflik kekerasan akan membesar. Kalau eskalasinya tak terkendali, sangat mungkin orang-orang Papua yang selama ini sudah berjiwa NKRI pun akan memberikan simpati kepada sesama orang Papua. Sangat tak masuk akal kalau orang Papua akan membantu pihak yang sedang berhadapan dengan mereka.
Jadi, semakin pahamlah kita mengapa pemerintah berusaha meredam konflik. Semakain mengertilah kita mengapa peristiwa semacam kerusuhan Manokwari itu membuat para petinggi menjadi pucat gemetar. Mereka sangat ketakutan.
Takut pekik Papua Merdeka akan “terdengar” ke luar. Sebab, jika teriakan itu menggema di luar, akan banyaklah negara simpatisan Papua yang siap memberikan dukungan. Jangankan setelah jatuh korban tindak kekerasan, pada waktu relatif tenteram seperti sekarang ini saja sudah sangat banyak negara luar, khususnya rumpun Melanesia, yang siap menmbantu perjuangan Papua.
Menghindarkan tindak kekerasan dengan korban orang Papua, adalah psikologi yang tengah melanda semua pejabat Indonesia. Saking takutnya korban di pihak Papua akibat tindakan pasukan keamanan Indonesia, akhir-akhir ini Indonesia cenderung “permissive” terhadap orang Papua. Apa saja dibolehkan.
Biarlah orang Papua berbuat sesuka hati. Mau mengibarkan bendera Bintang Kejora, silakan. Padahal, kalau itu dilakukan oleh orang Sumatera, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi, sudah pasti langsung masuk penjara. Dikenai pasal makar.
Orang Papua istimewa. Mau melaksanakan rapat umum dengan orasi Papua Merdeka, tidak masalah. Polisi dan intelijen hanya mengawasi. Menjaga supaya tertib. Demo-demo menuntut penentuan nasib sendiri pun, tidak dilarang. Bahkan, demo-demo tsb dilakukan di luar Papua. Dilakukan di “kandang lawan”. Tidak masalah.
Begitulah hebatnya orang Papua menguasai psikologis para petinggi Indonesia. Semuanya ramah. Lemah-lembut. Tak berani mengerahkan Brimob yang kemarin sangat tangkas dan dahsyat menumpas demonstran pilpres. Menghadapi pendemo di Jakarta, apalagi pendemonya orang Islam, pasukan Brimob luar biasa hebat.
Begitu juga tentara swasta, Banser NU. Mereka juga pucat. Cuma, mereka bukan pucat politis sebagaimana yang ditunjukkan oleh para petinggi Indonesia. Melainkan pucat ‘original’. Sampai-sampai seorang jurubicara Banser mengkambinghitamkan ketiadaan payung hukum untuk pergi ke Papua dalam rangka mempertahankan NKRI.
(Penulis adalah wartawan senior)