Proses Penerimaan peserta didik baru (PPDB) sudah mulai dilakukan di sekolah negeri. Kini, PPDB menerapkan sistem kebijakan zonasi. Kebijakan tersebut sudah diterapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy sejak 2016.
Sistem zonasi merupakan sitem yang dibangun pemerintah agar penerimaan calon siswa baru tidak menekankan pada nilai saja. Sistem zonasi lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah calon peserta didik dengan sekolah.
Dasar aturan sistem zonasi adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 51 tahun 2018, dimana sekolah wajib menerima calon peserta didik dengan kuota paling sedikit 90% berdomisili radius zona terdekat dari jarak rumah ke sekolah.
Mendikbud juga menambahkan bahwa kebijakan zonasi ini untuk membenahi standar nasional pendidikan.
“Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi,” kata Mendikbud dilansir dari Antara, Selasa (18/6/2019).
Namun Sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) juga masih menuai pro dan kontra di berbagai kalangan, khususnya orang tua. Jika Bunda lihat dan baca di berita, ratusan orang tua rela antre untuk mendaftarkan anaknya di sekolah pilihan. Lalu, ada pula yang melakukan protes lantaran anaknya dirasa pintar namun tak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah unggulan.
Soal ini Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia bidang pendidikan, Retno Listyarti mengungkap bahwa sebenarnya ada beberapa keuntungan yang justru dirasakan betul oleh anak lewat sistem zonasi PPDB 2019.
“Kami dari KPAI menilai bahwa mendekatkan anak dari rumah ke sekolah adalah kepentingan terbaik bagi anak. Sebagaimana amanat pada undang-undang perlindungan anak. Bayangkan anak yang rumahnya dekat, dia sehat enggak perlu naik kendaraan, cukup jalan kaki atau sepeda,” ujarnya di acara diskusi publik pendidikan Kebijakan PPDB Sistem Zonasi dan Mutasi Guru dalam Perspektif Kepentingan Terbaik bagi Anak, di KPAI, Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2019).
Retno juga menilai, anak akan sehat secara pencernaan, karena sempat sarapan. Dengan jarak ke sekolah yang dekat, makanan siang bisa diantar orang rumah. Dari masalah gizi, kesehatan pencernaan bisa teratasi.
“Ketiga, anak ini karena dekat rumahnya dengan sekolah. Maka temannya di sekolah sama dengan teman mainnya di rumah. Kenal orang tuanya, keluarganya, ini akan menutup akses terkait dengan tawuran. Semuanya kenal, enggak mugkin tawuran. Ini kan baik dengan anak-anak,” kata Retno.
Retno melanjutkan, karena dekat dengan sekolah, jadi orang tua bisa terlibat dalam berbagai kegiatan. Sistem zonasi juga dirasa bisa menurunkan angka kekerasan dalam pendidikan.
“Ketika mereka bergaul dengan teman yang diketahui sejak kecil. Bagus untuk tumbuh kembang anak. Apalagi kan anak SD, ngapain sih jauh-jauh sekolah? Kalau SMA, taruhlah di tempat yang agak jauh misalnya, mungkin pilihannya bisa lebih. Kalau SMA, mungkin dia mau lebih jauh, pergaulan yang luas. Ini orang tua mempermasalahkan nanti anaknya kurang pergaulan. Padahal sekarang semuanya lewat gadget, enggak terbatas ruang dan waktu,” tutur Retno.
“Semua hal yang membahayakan anak bisa kita minimalkan. Saat anak SMA atau SMK, misalnya pakai zonasi, mau lebih jauh, kita bisa lepas. Enggak ada syaratnya kalau SD. KPAI sepakat dengan sistem zonasi. Kita harus bersabar saat ini, hasilnya belum kelihatan karena baru mulai. Tapi perlahan akan mulai kelihatan contohnya di Kota Bekasi, di sana sudah membuka tujuh sekolah baru,” ujar Retno.
Sementara itu sistem zonasi juga memiliki kelemahan karena dianggap tidak efektif. Hal ini disampaikan oleh Ketua DPR, Bambang Soesatyo menyoroti sistem zonasi PPDB.
Menurut Bamsoet, masalah yang bisa timbul karena sistem zonasi ialah sekolah di daerah akan menghadapi keterbatasan daya tampung. Selain itu bisa terjadi calon siswa yang tiba-tiba berpindah tempat tinggal.
“Ini demi menyatukan visi, misi, serta pemahaman terhadap sistem zonasi dalam PPDB agar tepat sasaran dan tidak merugikan masyarakat,” ujar Bamsoet, Rabu (11/7/2018) dilaman Liputan6.com.
Kasus ini juga yang menjadikan polemik panjang bagi para orang tua siswa bahwa anaknya menjadi yang terbaik namun zona menajdi masalah. Salah satu orang tua siswa di Bandung mengatakan sedikit kecewa atas zonasi ini.
Karena misalnya “Zahra, putri RK (gubernur Jabar), bisa masuk jalur kombinasi juga karena nilainya tinggi, 38, 50. Bisa menjadi urutan 31 dari 53 siswa yang diterima,” katanya.
Aneh juga, anak saya nilainya 38, 87, masuk jalur kombinasi, terpental mental, meski, saat masuk jalur kombinasi nilai katanya dikurangi jadi 38 25,”ujar orang tua siswa yang tak mau disebutkan namanya dengan nada kecewa.
Kepala Sekolah SMAN 3 Bandung, Yeni Gantini pernah menjelaskan Zahra dapat diterima karena tidak menyalahi aturan sebagaimana juknis perpindahan orang tua.
Menurut Yeni, perpindahan keluarga Gubernur Jabar itu akurat dan semua anggota keluarga benar-benar pindah. Berdasarkan juknis diperbolehkan syarat perpindahan dalam satu kota atau kabupaten.
Selain itu, Yeni mengungkapkan, jika Zahra tidak menempuh jalur perpindahan ia juga masih bisa diterima melalui jalur kombinasi. “Putrinya Ridwan Kamil sebetulnya punya dua peluang, bisa megambil jalur perpindahan orangtua atau kombinasi, karena NEM-nya tinggi 38,50,” ujarnya.
Yeni menjelaskan, andai Zahra masuk kombinasi, dipastikan tetap bisa masuk. Dari 186 peserta yang mendaftar pada jalur kombinasi, SMAN 3 Bandung menerima 51 siswa. Jika diurutkan dalam peringkat, Zahra berada diposisi 31, sehingga bisa diterima.
Inilah ada hirarki yang terjadi. Gubernur Jabar sudah lolos putrinya sedang Putri Dosen UNPAD, yang awalnya diketahui pendaftar atas nama inisial M tersebut mendaftarkan putrinya ke SMAN 5 Bandung menggunakan Kartu Keluarga yang tidak sesuai dengan alamat asli tempat tinggalnya. Inilah yang menjadi kecurigaan.
Sehingga Masyarakat Pemerhati Pendidikan (MPP) melaporkan temuan pendaftar KK bermasalah alias bodong yang ada di SMAN 3 Bandung dan SMAN 5 Bandung.
KK yang digunakan oleh putri Dr M, bermaksud beralamat Jalan Lombok No 6 Belakang Kelurahan Merdeka, Kecamatan Sumur Bandung kota Bandung.
Faktor Zonasi juga akhirnya menjadikan banyak orang tua siswa membuat KK Bodong. Meski dinyatakan KK Bodong tapi Dr M saat bertemu dengan pihak sekolah SMA 5 bersikukuh mengakui bahwa alamat di KK adalah alamatnya. “Dia bersikukuh,” kata sumber kami dilingkungan dalam SMA tersebut.
Jadi jika dibanding masyarakat umum dan Gubernur juga dosen maka jelas beda, maka meski anaknya nilai tinggi sepertinya dipinggirkan?
Kami malah mendapatkan sumber di lingkungan UNPAD bahwa Dr M yang juga sekjen Ikatan Alumni UNPAD katan akan segera dipanggil oleh Komisi Etik UNPAD. Nah kita tunggu saja apa yang akan terjadi hasilnya nanti.
(BERSAMBUNG)