Home Dunia DALIL 3,5%: BAGAIMANA MINORITAS KECIL MENGUBAH DUNIA

DALIL 3,5%: BAGAIMANA MINORITAS KECIL MENGUBAH DUNIA

898
0


by David Robson

Protes damai dua kali lebih berhasil ketimbang konflik bersenjata – dan partisipasi aktif 3,5% penduduk tidak pernah gagal menciptakan perubahan.

Pada tahun 1986, jutaan rakayat Filipina membanjiri jalanan di Manila dalam sebuah protes damai gerakan People Power. Rejim Marcos ambruk dalam 4 hari.

Pada tahun 2003, rakyat Georgia mengenyahkan Eduard Shevardnadze melalui Revolusi Bunga tanpa darah, ketika mana pemrotes menyerbu gedung parlemen sambil mengacungkan bunga di tangan mereka.

Awal tahun ini, presiden Sudan dan Aljazair mengumumkan kemunduran mereka setelah berpuluh-puluh tahun menjabat, menyerah di hadapan perlawanan kampanye damai rakyat.

Pada semua kasus di atas, perlawanan sipil oleh warga publik biasa mengalahkan elit politik dan mencapai tujuan perubahan radikal. Tentu saja ada banyak alasan etis mempergunakan strategi anti-kekerasan. Tetapi penelitian yang sangat meyakinkan oleh Erica Chenoweth, ilmuwan politik dari Universitas Harvard, mengkonfirmasikan bahwa pembangkangan sipil bukan sekadar pilihan moral; ia juga cara yang dahsyat untuk membentuk dunia politik yang baru.

Bila kita melihat ratusan kampanye (sipil maupun militer) pada seabad terakhir, Chenoweth menemukan bahwa kampanye anti-kekerasan dua kali lebih berhasil meraih tujuan ketimbang kampanye dengan kekerasan. Dan sungguhpun dinamika nyata akan sangat bergantung kepada banyak faktor, ia menunjukkan bahwa dibutuhkan sekitar 3,5% penduduk berpartisipasi secara aktif dalam proses untuk memastikan perubahan politik.

Pengaruh Chenoweth dapat dilihat pada protes Extinction Rebellion, dimana para pendirinya mengakui bahwa mereka secara langsung terinspirasi temuan-temuannya. Jadi bagaimana ia bisa sampai kepada kesimpulan-kesimpulan di atas?

Tidak perlu disebutkan, penelitian Chenoweth berdasarkan atas filosofi dari sejumlah tokoh terkenal dalam sejarah. Diantaranya adalah tokoh anti-perbudakan Sojourner Truth, tokoh gerakan hak pilih untuk perempuan Susan B. Anthony, aktivis gerakan kemerdekaan India Mahatma Gandhi dan tokoh hak-hak sipil Martin Luther King, kesemua tokoh tersebut secara sangat meyakinkan menyerukan perkasanya gerakan protes damai.

Meski begitu Chenoweth mengakui bahwa dia memulai risetnya pada pertengahan 2000an, dengan awalnya agak sinis atas gagasan gerakan damai lebih perkasa daripada gerakan bersenjata. Sebagai seorang mahasiswa doktoral di Universitas Colorado, ia telah bertahun-tahun mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi bangkitnya terorisme ketika ia diundang untuk menghadiri sebuah lokakarya akademik yang diselenggarakan oleh International Center of Nonviolent Conflict (ICNC), sebuah organisasi nirlaba di Washington DC. Lokakarya tersebut menyajikan sejumlah contoh yang bagus tentang bagaimana gerakan protes damai berhasil menciptakan perubahan politik yang bertahan lama – termasuk, misalnya, gerakan People Power di Pilipina.

Tetapi Chenowet heran mengetahui bahwa tidak seorang pun memberikan perbandingan komprehensif tingkat keberhasilan gerakan anti-kekerasan vs kekerasan; mungkin lantaran contoh-contoh kasus yang diajukan memiliki bias. “Saya benar-benar termotivasi oleh sejumlah keraguan tentang benarkah perlawanan anti-kekerasan adalah metode yang efektif untuk menjalankan perubahan di masyarakat,” katanya.

Bekerjasama dengan Maria Stephan, seorang peneliti di ICNC, Chenowet melakukan kajian ekstensif atas literatur tentang perlawanan sipil dan gerakan sosial dari tahun 1900 sampai 2006 – data set yang ia bangun itu kemudian ia bandingkan dengan pakar-pakar lain. Para pakar tersebut utamanya mempelajari perubahan rejim. Suatu gerakan disebut berhasil ketika ia sepenuhnya mencapai tujuan dalam jangka waktu setahun setelah mencapai puncak keterlibatan dan sebagai akibat langsund dari kegiatan-kegiatannya. Perubahan rejim akibat intervensi militer tidak dianggap sebagai sukses. Sementara suatu kampanye dikatakan melibatkan kekerasan bila terjadi pemboman, penculikan, penghancuran infrastruktur – atau pencideraan fisik terhadap manusia atau properti.

“Kami menerapkan ujian keras atas gerakan anti-kekerasan sebagai strategi, “ kata Chenoweth. (Kriteria di atas begitu keras sehingga gerakan kemerdekaan India tidak bisa dianggap sebagai gerakan anti-kekerasan dalam analisis Chenoweth dan Stephan – sebab kemerosotan sumberdaya militer Inggris dianggap sebagai faktor penentu, sekalipun gerakan protes itu sendiri juga sangat besar pengaruhnya.)

Pada akhir proses di atas, keduanya berhasil mengumopulkan 323 data gerakan kekerasan dan anti-kekerasan. Dan hasilnya – yang dipublikasikan dalam buku Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflic – sangat menarik perhatian.

Kekuatan dalam Jumlah

Secara umum,gerakan anti-kekerasan dua kali lebih berhasil adaripada gerakan kekerasan: 53% dibandingkan 26%.

Sebagian dari pencapaian itu adalah karena kuasa jumlah. Chenoweth berdalih bahwa gerakan anti-kekerasan lebih berhasil karena dapat meraih partisipan lebih banyak dari demografi yang lebih luas, yang bisa menyebabkan gangguan berat yang melumpuhkan kehidupan normal kota-kota dan berfungsinya masyarakat.

Dalam kenyataannya, dari 25 gerakan terbesar yang mereka pelajari, 20 adalah anti-kekerasan, dimana 14 diantaranya berhasil meraih tujuannya. Gerakan itu secara umum menarik partisipan orang empat kali lebih banyak (200.000) daripada rata-ata gerakan kekerasan (50.000)

Gerakan People Power yang melawan Marcos di Pilipina, misalnya, menggerakkan dua juta peserta di puncaknya, sementara gerakan demonstrasi di Brazil tahun 1984 dan 1985 menarik satu juta, dan Revolusi Beludru di Cekoslowakia menarik 500.000 partisipan.

“Jumlah benar-benar sangat penting untuk membentuk kekuatan yang memberikan ancaman dan tantangan serius kepada pihak berwenang,” kata Chenoweth – dan gerakan anti-kekerasan adalah cara terbaik untuk memperoleh dukungan luas. Bila 3,5% dari seluruh penduduk mulai berpartisipasi aktif, sukses tidak terelakkan.

Di samping gerakan People Power, Revolusi Bernyanyi di Estonia dan Revolusi Mawar di Georgia semua berhasil melampaui ambang batas 3,5% . “Tidak ada gerakan yang gagal bila berhasil meraih puncak partisipasi 3,5%,” ujar Chenoweth – suatu fenomena yang disebutnya “dalil 3,5%”.

Chenoweth tidak membantah bahwa ia awalnya terkejut dengan hasil itu. Namun sekarang ia bisa menyebutkan banyak alasan mengapa gerakan protes anti-kekerasan bisa merengkuh dukungan masif. Mungkin yang paling jelas, gerakan kekerasan harus menyisihkan orang-orang yang takut dan benci pertumpahan darah, sementara gerakan damai bisa menjaga basis moral mereka itu.

Chenoweth menekankan bahwa gerakan protes anti-kekerasan juga memiliki lebih sedikit halangan fisik untuk partisipasi. Anda tidak perlu kuat dan sehat untuk mengikuti pemogokan, sementara gerakan kekerasanung bergantung kepada dukungan dari orang kuat fisiknya. Walaupun berbagai bentuk gerakan protes anti-kekerasan juga memiliki resiko fisik – ingat respon Cina di Lapangan Tianmen 1989 – Chenoweth mengatakan bahwa gerakan anti-kekerasan lebih mudah didiskusikan di muka publik, yang berarti berita tentang keberadaannya dapat meraih audiens lebih luas. Gerakan kekerasan, sebaliknya, membutuhkan pasokan senjata, dan umumnya bergantung kepada operasi-operasi rahasia yang sulit sekali mencapai warga pada umumnya.

Dengan melibatkan dukungan publik secara luas, gerakan anti-kekerasan lebih mudah memenangkan dukungan dari polisi dan militer – kelompok profesional yang diandalkan oleh pemerintah untuk menertibkan masyarakat.

Di dalam aksi protes yang melibatkan jutaan orang, anggota keamanan mungkin juga khawatir bahwa ada anggota keluarga mereka ada dalam kerumunan – itu bisa membuat mereka gagal menghancurkan gerakan. “Atau ketika mereka melihat kepada jumlah rakyat yang terlibat, mungkin mereka berpikiran bahwa kapal telah miring, dan mereka tidak mau tenggelam bersama kapal itu,” ujar Chenoweth.

Dalam hal strategi, pemogokan nasional “mungkin adalah salah satu yang terbaik, kalau bukan yang terbaik atau satu-satunya metode perlawanan anti-kekerasan,” kata Chenoweth. Namun strategi itu punya harga yang mesti dipikul beberapa individu, sementara ada bentuk protes lain yang anonim. Ia memberi contoh boikot konsumen di masa Apartheid – Afrika Selatan, ketika orang-orang kulit hitam menolak membeli produk perusahaan yang dimiliki oleh orang kulit putih. Akibatnya, terjadi krisis ekonomi di lingkungan elit kulit putih dan berdampak kepada runtuhnya pemisahan ras di negeri itu pada awal tahun 1990an.

“Ada banyak pilihan untuk melibatkan masyarakat dalam gerakan anti-kekerasan namun tidak menempatkan mereka dalam bahaya fisik ketika jumlah itu bertambah, dibandingkan dengan gerakan bersenjata,” kata Chenoweth. “Dan teknik perlawanan anti-kekerasan lebih terbuka, sehingga lebih mudah bagi orang untuk menemukan cara berpartisipasi, dan bagaimana mengkoordinasikan kegiatan mereka untuk memaksimalkan gangguan.”

Angka Ajaib?

Walau secara umum gerakan anti-kekerasan dua kali lebih berhasil daripada gerakan kekerasan, namun jangan lupa 47% gerakan damai yang diriset telah gagal. Menurut Chenoweth dan Stephan kadang-kadang gerakan tidak berhasil meraih dukungan atau momentum untuk “menggerus basis kekuasaan lawan dan menjaga ketahan dari represi”. Namun sejumlah gerakan damai yang besar juga bisa gagal, misalnya gerakan protes melawan partai komunis di Jerman Timur tahun 1950an, yang telah menggerakkan 400.000 orang (sekitar 2% penduduk) namun gagal menghadirkan perubahan.

Di dalam data set Chenoweth, hanya sekali gerakan damai mencapai ambang batas 3,5% partisipasi aktif yang menjamin keberhasilannya – dan meraih hasil itu bukanlah perkara mudah. Di Inggris hal itu berarti menghimpun 2,3 juta orang dalam pergerakan (dua kali lipat jumlah penduduk Birmingham, kota kedua terbesar); di Amerika, itu berarti melibatkan 11 juta warga – lebih banyak dari jumlah penduduk di kota New York.

Akan tetapi, fakta tidak berubah, gerakan damai adalah cara yang paling andal untuk melibatkan lebih banyak orang.—

Catatan:

1. Studi Chenoweth and Stephan’s pertama kali dipublikasikan tahun 2011 dan temuan-temuan mereka menarik perhatian kalangan luas. 
2. Tentang Dalil 3,5% Chenoweth mengatakan bahwa sekalipun proporsi perserta aktifnya kecil namun orangjumlah orang yang setuju kepada gagasannya jauh lebih besar.
3. Para peneliti sekarang meninjau faktor-faktor yang menentukan kesuksesan dan kegagalan gerakan. Bramsen dan Chandler, misalnya, mengajukan pentingnya faktor kesatuan diantara para demonstran. Sebagai contoh Bramsen mengajukan kasus kegagalan gerakan di Bahrain 2011. Mulanya gerakan diikuti oleh banyak orang, namun dengan cepat pecah menjadi sayap-sayap yang saling bersaing. Ketiadaan kohesi itu pada akhirnya menyebabkan koalisi kehilangan momentum perubahan.

David Robson adalah wartawan senior dari BBC Future.
Pent. Radhar Tribaskoro

14 Mei 2019

Previous articleUNDANG UNDANG PENGHIANATAN BANGSA
Next articleAni Yudhoyono Meninggal Dunia di Rumah Sakit Singapura

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.