BUKAN hanya kampanye Pilpres menjadi meriah. Pidato Presiden Jokowi yang menyebutkan ada ‘propaganda ala Rusia’ sedang beroperasi pada saat ini yang langsung dibantah oleh Dubes Federasi Rusia untuk Indonesia. Juga melalui akun Twitter Russian Embassy. Hubungan bilateral kita berpotensi terganggu karena ‘name calling’ dan ‘naming and shaming’ ini.
Pernyataan Jokowi ini dikeluarkan ketika kegiatan deklarasi Forum Alumni Jawa Timur di Tugu Pahlawan, Kota Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (2/2). Jokowi mengatakan banyaknya hoax dan fitnah ini karena adanya upaya adu domba ala asing. Dia kemudian menyebut ada tim sukses yang menyiapkan ‘propaganda ala Rusia’.
Bagaimana dunia diplomasi menyikapi statement Presiden Jokowi tentang ‘ropaganda ala Rusia’? Saya akan mengulas dari (1) praktik diplomasi internasional, (2) perspektif Rusia, dan (3) hubungan bilateral RI-Rusia.
Kami sekeluarga pernah tinggal di Moskow 4 tahun pada periode terpenting kontemporer Rusia, ketika masih bernama Uni Soviet, tak lama setelah Gorbachev menggantikan Konstantin Chernenko sebagai Sekjen PKUS. Kemudian Gorbachev menjadi Presiden. Kami tinggal di Moskow, Januari 1986- Oktober 1989. Anak kami, Sandra, juga lahir di Moskow. Tak lama kami kembali ke tanah air, Uni Soviet bubar di tahun 1991. Wind of Change menjalar di Eropa dan dunia.
Sebagian media menyebut ‘propaganda Rusia’ tanpa kata ‘ala’. Kata-kata ‘propaganda ala Rusia’ harus diartikan ‘propaganda teknik atau praktik Rusia’. Sedangkan ‘propaganda Rusia’ berarti ‘Rusia bermain dalam Pilpres kita’. Wah ini skandal, jika benar. Dalam konteks Pilpres kita implikasi kedua kata ini berbeda. Menurut saya kedua kata ini berbahaya dan negatif. Nanti kita ulas di bawah.
Asal kata ‘propaganda Rusia’ ini merujuk Pilpres Amerika di tahun 2016, ketika Trump mengalahkan Clinton. Setelah kekalahan Clinton, muncul isu dari kalangan Partai Demokrat bahwa kemenangan Trump karena bantuan ‘tim IT Rusia’. Dan kemenangan Trump berbau ‘kecurangan’. Isu dan tuduhan ini dibantah oleh Presiden Putin sendiri.
Presiden Trump membantah Rusia berperan dalam menempatkannya di Oval Office. Trump menolak gagasan bahwa campur tangan Rusia memengaruhi hasil pemilu 2016, dan menyebutnya sebagai “cerita buatan,” “konyol,” dan “tipuan.” Trump menyatakan faham adanya ‘ serangan asing’ terhadap demokrasi Amerika selama kampanye, tetapi dia bersikeras bahwa “Rusia tidak berdampak pada hasil penghitungan suara.”
Partai Demokrat menghindari menghubungkan kekalahan Hillary Clinton secara langsung dengan intrik Rusia. Mereka menyalahkan mantan direktur FBI, James Comey, yang mengumumkan akan membuka kembali investigasi kriminal atas kesalahan penanganan e-mail rahasia Clinton, di hari-hari terakhir kampanye. Kemenangan tipis Clinton langsung terjungkal.
Tentang tuduhan, “permainan ahli IT Rusia” melakukan kudeta teknologi dan politik dalam Pilpres Amerika itu mungkin ada mungkin tidak. Tetapi tegas dikatakan, sekiranya ada permainan ahli IT dalam teknik propaganda melibatkan media tetapi tidak langsung bisa mengubah hasil Pilpres.
Jadi membuat statement dengan rujukan ‘propaganda Rusia’ selain ‘kasar’ juga lemah. Jika rujukannya adalah Pilpres Amerika, maka statement Jokowi itu bisa dianggap blunder: mengutip salah dengan tafsiran salah pula dan tidak etis pula secara hubungan antar-negara.
Dalam dunia diplomasi ‘name-calling’ atau mengejek suatu negara dengan julukan jelek, maupun ‘naming and shaming’ menyebut nama suatu negara untuk mempermalukannya dipandang tidak etis dan berpotensi mengganggu hubungan antar-negara.
Pengalaman saya di PBB, jika suatu negara menyebut nama Indonesia secara negatif, langsung kami meminta ‘right of replay’, tidak saja membantah statement negatif itu bahkan juga menyerang negara yang dipandang melakukan ‘naming and shaming’ Indonesia. Itu jelas tidak diterima.
Bagaimana ‘propaganda’ dalam konteks dalam negeri Rusia? Ini ulasan kedua saya.
Kata “propaganda Rusia” ini bermakna ‘penggunaan teknik propaganda’ cara Rusia di zaman Uni Soviet (1917-1991). Kata ‘Propaganda Rusia’ ini berbau komunis, ketika negeri ini dikuasai oleh Politbiro, menghadapi ‘propaganda Amerika’. Ini stigma lama yang digencarkan oleh Amerika Serikat pada masa Perang Dingin. Intinya: ‘kebohongan sistematis’ ala Soviet yang sama sekali jauh dari kenyataan.
Di negeri kita jago propaganda adalah PKI. Ada departemen khusus dibuat: ‘Agitrop’ atau agitasi dan propaganda. Ini senjata PKI dalam melemahkan lawan-lawannya, melalui hoax dan politik adu-domba sebelum G30S/PKI itu.
Propaganda sah dalam hubungan internasional. Ya , tidak salah Amerika juga melakukan propaganda yang tak-kurang canggih, untuk mendelegitimasi PKUS. Cuma propaganda buatan AS itu halus, tidak kasar dan ‘blatant’ seperti gaya Politbiro PKUS. Semua negara, termasuk Indonesia, juga melakukan propaganda. Cuma, dengan cara dan metoda berbeda-beda, halus atau kasar, canggih atau kampungan. Itu saja yang membedakan.
Bayangkan. Ketika masih bernama Uni Soviet, jalan di mana Embassy Uni Soviet berada diganti menjadi Jalan Andrei Sakharov Plaza, di puncak-puncak perang propaganda AS- Uni Soviet ketika Sakharov yang sakit-sakitan dan mengalami tahanan rumah di Moskow.
Sejak 2014 jalan Kedubes China juga di Washington DC diusulkan senat diganti menjadi Jalan Liu Xiaobo Plaza, pejuang HAM China yang meninggal itu. Usul itu sempat diveto oleh Presiden Obama. Sekarang, dengan Trump di Gedung Putih usul itu marak kembali.
Ini menjadi bagian dari taktik propaganda dan perang urat syarat yang mulai marak dalam hubungan Amerika dan China. Ya, propaganda selalu bermain.
Sekarang masih kita masuk ke bagian ketiga, ulasan dari perspektif hubungan baik dan bersahabat Indonesia-Rusia.
Gara-gara statement ‘propaganda ala Rusia’ oleh Presiden Jokowi maka semangat hubungan baik dan strategis bisa rusak, dan kerjasama bilateral bisa terganggu.
Pernyataan Jokowi sebagai capres tidak terlepas kedudukan beliau sebagai Presiden RI. Begitulah, jika semangat kampanye berkobar-kobar banyak yang ‘tresspassing’ bahkan ‘offside’. Jika menyinggung hubungan antar-negara bisa berabe. Hati-hati menyebut nama negara, atau menjuluki suatu negara secara negatif.
Pernyataan Presiden Jokowi langsung dibantah dan ditepis oleh Rusia lewat Dubes dan Embassy-nya di Jakarta. Kedubes Rusia lewat akun Twitter resmi @RusEmbJakarta pada Senin (4/1/2019). Ada 3 cuitan terkait propaganda Rusia ini.
“Berkaitan dengan beberapa publikasi di media massa tentang seakan-akan penggunaan ‘propaganda Rusia’ oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu di Indonesia, kami ingin menyampaikan sebagai berikut.
Rusia menyatakan istilah ‘propaganda Rusia’ di Pilpres Amerika Serikat adalah rekayasa. Rusia menegaskan tidak ikut campur di Pilpres AS hingga Indonesia.
Sebagaimana diketahui istilah ‘propaganda Rusia’ direkayasa pada tahun 2016 di Amerika Serikat dalam rangka kampanye pemilu presiden. Istilah ini sama sekali tidak berdasarkan pada realitas,”demikian Kedubes Rusia.
Ketika Presiden Indonesia –meskipun dalam kapasitas cawapres sedang berkampanye—melakukan keduanya: ‘name-calling dan shaming and naming’— itu jelas tidak sesuai etika hubungan bersahabat. Rusia adalah sahabat strategis kita. Kita menandatangani Deklarasi Kemitraan Strategis di Kremlin pada tahun 2005. Saya hadir di sana. Saya bersama mitra saya di Kementerian Luar Negeri Rusia menjadi author dokumen ini.
Rusia bisa saja membawa persoalan ini menjadi serius. Saya yakin karena menjadi praktik negara maka Pemerintah Rusia di Moskow akan meminta klarifikasi dari Dubes RI untuk Federasi Rusia, Wahid Supriyadi. Mengantisipasi pemanggilan ini, Dubes kita tentu akan meminta penjelasan dari Jakarta. Jawaban dari Jakarta akan bersifat defensif atau apologetis. Memang Presiden Jokowi pastilah tidak bermaksud untuk ‘menyerang’ Rusia. Hanya, pernyataan menyangkut hubungan antar-negara –apalagi negara sahabat yang bernilai strategis—ke depan beliau perlu berhati-hati.
Tanpa semangat hubungan baik RI – Rusia, sudah pasti Presiden Putin sendiri akan berang dan tidak menerima cercaan itu —seperti dalam kasus Pilpres AS—dan membuat statement negatif balasan terhadap Indonesia. Akan terjadi fiasco dalam hubungan bilateral kita. Ini bisa berdampak macam-macam. Dari pemanggilan pulang untuk penurunan tingkat kedubes, penghentian kerjasama bilateral di berbagai bidang termasuk dalam konteks kerjasama diplomasi pada tingkat global.
Yang rugi siapa? Ya pasti kita dan juga mungkin Rusia. Hanya gara-gara kurang hati-hati dalam statement yang menyinggung hubungan antar-negara yang sebenarnya tak perlu.
Untunglah, sampai saat ini Rusia hanya menggunakan ‘right of reply’ saja dan relatif lunak pula.
Haz Pohan
Jakarta, 6 Februari 2019