By Asyari Usman
Tadi saya telefon seorang ustad. Bertanya soal doa yang diralat. Saya ceritakan soal Romahurmuziy (Romi) yang meminta Kiyai Maimoen Zubair meralat doanya karena terucapkan “Prabowo”, bukan “Jokowi”, yang menjadi presiden. Doa itu adalah penutup acara Sarang Berzikr di Pondok Pesantren Al-Anwar, di Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Jumat (01/02/2019).
Saya tanya Pak Ustad bagaimana kira-kira status syariat doa yang diralat. Spontanitas Ustad adalah bahwa dia tidak bisa memberikan jawaban serius. Cuma bisa mejawab dalam candaan saja. Ketimbang tak dijawab, saya iyakan saja jawaban candaan itu.
Si Ustad mengatakan, karena doa Mbah Moen (pagggilan akrab Kiyai Maimoen Zubair) itu terkait dengan pilpres, maka tindakan Romi meminta ralat kepada Mbah Moen tidak dapat dibenarkan secara hukum. Sebab, semua ralat yang terkait dengan pilpres haruslah melalui KPU dan Bawaslu.
Bawaslu mungkin harus menyelidiki dulu apakah penyebutan nama Prabowo oleh Mbah Moen berlangsung secara natural atau tidak. Kalau terjadi secara natural, maka sangat masuk akal untuk bisa diralat. Karena tindakan tak sengaja. Lebih-kurang mirip dengan salah cetak kertas suara.
Menurut para pakar, Mbah Moen menyebutkan nama Prabowo secara spontan. Bahkan ada yang mengatakan, untuk pilpres ini tampaknya yang ada di hati Mbah Moen adalah Prabowo. Tapi, kubu Jokowi mengatakan bahwa yang dimaksud Mbah Moen itu jelas Jokowi.
Kita tidak perlu berdebat kusir soal sponitas Mbah Moen dan maksud sesungguhnya di dalam hati beliau. Sebab, jawabannya sudah sangat jelas.
Yang krusial sekarang adalah bagaimana dengan ralat seketika yang dilakukan Romi?
Kelihatannya, Romi juga bertindak spontan. Dia hanya ingin meluruskan isi doa yang terlanjur untuk Prabowo itu. Saya kurang tahu apakah “pelanggaran” oleh Romi ini harus diselidiki oleh KPU dan Bawaslu. Kalau merujuk pendapat Ustad yang saya tanya, beliau berpendapat ralat itu seharusnya melalui kedua lembaga pemilu tsb.
Sayangnya, saya tidak punya nomor telefon orang-orang KPU atau Bawaslu. Jadi, belum bisa saya sertkan tanggapan mereka di tulisan ini. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.
Yang menjadi masalah, setelah Romi meminta Mbah Moen meralat, ternyata Kiyai karismatik itu masih menyebut nama Prabowo sampai dua kali. Baru kemudian ralat Mbah Moen menjadi benar.
Kalau KPU dan Bawaslu akhirnya turun tangan, saya menduga keputusan kedua lembaga ini adalah mengulang kembali acara secara keseluruhan. Kenapa? Supaya betul-betul lepas dari pertautan dengan Prabowo. Sehingga, dari sisi etika kepemiluan, pengulangan acara secara utuh akan melepaskan sangkut-paut doa Mbah Moen dengan Prabowo. Artinya, doa kemarin itu disebut saja untuk Prabowo dan doa pada ulangan acara nanti barulah disebut doa untuk Jokowi.
Tapi, mungkinkah acara Sarang Berzikir diulang? Wallahu a’lam.
Saran saya, sebaiknya Pak Jokowi buat saja zikir di pesantren lain. Misalnya, ada pesantren Gus Nuril. Atau, bisa juga acara doa dipimpin oleh Ustad Abu Janda. InsyaAllah, banyak alternatif lain.
(Penulis adalah wartawan senior)