Oleh M. Nigara
Wartawan Senior
Mantan Wasekjen PWI
ROCKY GERUNG, hmmm! Dulu, saya pasti akan marah dengan semua paparan Rocky, dalam acara 212 award, Sabtu (5/1/19) di gedung Usmar Ismail Jakarta. Lebih dari lima menit ia melecehkan pers Indonesia. Padahal pers ikut memerdekan bangsa ini. Perjuangan pers juga begitu dahsyat ikut membentuk bangsa ini.
Tapi memang, sekarang telah terjadi pergeseran sangat dramatis. Pers tidak lagi seperti dulu. Pers tidak lagi berjuang untuk rakyat. Pers (memang tidak seluruhnya) telah menjadi corong bagi penguasa. Pers telah menjadi infus penguasa.
Untuk itu, sekali ini, tidak ada kemarahan sedikit pun pada RG, begitu saya menyingkat nama Rocky. Saya justru begitu bahagia dengan seluruh paparannya. Paling tidak bukan hanya saya yang merasakan keanehan dengan pers kita. Ada orang lain sekelas RG ikut merasakannya. Di luar sana, banyak kawan-kawan yang sejak dua atau bahkan empat tahun lalu berhenti berlangganan. Malah ada yang lebih ekstrim, mereka mengharamkan chanel tv tertentu di rumah mereka karena dinilai selalu memberitakan tentang penguasa yang tanpa cacat.
Sebelumnya saya juga sudah melakukan oto-kritik saat pers kita bungkam tentang Reuni Akbar 212 tahun lalu. Saya merasa malu karena saya adalah bagian dari pers nasional.
Tapi, saya sempat di bully oleh beberapa rekan pers itu sendiri. Saya dianggap partisan hanya karena pernah nyaleg lewat PAN 2014, dan alhamdulillah sangat dekat dengan lokomotif reformasi 1998, Prof. Amien Rais. Otokritik saya dianggap tidak murni.
Lalu, ketika Prabowo juga mengkritik pers, dengan memboikot beberapa media besar yang jelas dan terang-benderang partisan. Catatan, pemilik dan bos besar media itu adalah ketum partai, serta ada media besar yang lain, justru hanya memanfaatkan untuk mencari keuntungan finansial semata. Tapi, mereka justru menuding Prabowo telah melanggar UU Pokok Pers. Prabowo juga didemo, dituntut untuk minta maaf.
Padahal jelas, berita yang mereka turunkan tidak berimbang. Jauh sebelum ada UU Pokok Pers, media atau pers atau wartawan, sesungguhnya telah mengatur dirinya sendiri dengan berbasis pada kebenaran. Pers juga sebagai pilar (kekuatan) keempat untuk menjaga demokrasi di negeri ini. Maka, pers wajib independen, dan wajib berpihak pada kenyataan. Pers harus selalu membela kepentingan rakyat dan wajib menjadi pengawas bagi kekuasaan.
infus kekuasaan
Tapi sekarang? RG benar, pers mainstream kita tidak lagi seperti itu. RG, tegas mengatakan pers saat ini telah berubah menjadi infus bagi kekuasaan. Pers kita telah menjadi bagian dari kekuasaan.
Malah tanpa tedeng aling-aling pers disebut RG tugasnya juga berbalik menjadi pengikut boneka.
“Mereka terus-menerus mengikuti kemana pun boneka pergi,” kata RG yang disambut tepuk tangan oleh para peserta acara termasuk Prof. Amien Rais.
Seperti juga kasus reuni Akbar 212, RG sudah yakin acara ini tidak akan diliput dan dimuat oleh media-media mainstream itu. Pandangan RG sama sekali tidak keliru.
Pers atau orang pers, sejujurnya adalah kelompok atau individu yang acuan utamanya adalah kebenaran. Bahkan sesungguhnya, begitu seseorang atau sekelompok orang membuat usaha pers, dia atau mereka bukan lagi diri mereka. Begitu pun seseorang ketika menjadi wartawan, maka dia tahu bahwa hidupnya untuk membela kebenaran. Dan dirinya bukan lagi dirinya, tapi dirinya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kepentingan rakyat. Bahkan mereka seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri mereka sendiri.
Tapi, apa yang kita lihat saat ini? Media-media mainstream (tentu di luar tvone, radio dan tv Rasil), Kumparan, dan Republika lebih mengutamakan kepentingan penguasa dan untuk dinikmati kelompok tertentu saja. Bagi mereka, kepentingan rakyat menjadi nomer kesekian.
Contoh yang paling menonjol, ketika BBM naik 12 kali, ketika impor segala macam dilakukan, ketika bagi-bagi kekuasaan pada partai koalisi terjadi, ketika kriminalisasi pada ulama atau orang-orang yang kontra penguasa dilakukan, tak ada suara mereka. Bahkan ketika penguasa menurunkan tingkat kemiskinan dari angka-angka yang wajar menjadi Rp 13 ribu perhari untuk melukiskan bahwa pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan, padahal di saat yang sama bantuan langsung kepada rakyat justru meningkat. Mereka pun tetap tak bersuara.
Tapi, begitu kita melakukan perlawanan, mereka langsung menuding bahwa kita anti pers. Kita dianggap sebagai pelanggar UU Pokok Pers. Kita disudutkan sebagai orang-orang yang anti kebebasan.
Sekali lagi, saya justru berbahagia dengan seluruh paparan RG. Saya berharap lebih banyak RG-RG lain agar pers kita segera menyadari kekeliruan mereka.
Semoga bermanfaat…
Selamat untuk tvOne, Rasil, Republika, dan Kumparan yang telah menerima award 212sebagai media yang masih menjalankan fungsinya sebagai pers yang independen