Home Bisnis & Ekonomi SKANDAL BILLING SYSTEM I-SISKA, TELKOM HARUS JUJUR : SUDAH DIPAKAI, TIDAK DIBAYAR...

SKANDAL BILLING SYSTEM I-SISKA, TELKOM HARUS JUJUR : SUDAH DIPAKAI, TIDAK DIBAYAR MALAH DIGANTI

2333
0

Ditengah bencana gempa di Palu, Sigi, Donggala dan beberapa wilayah di sulawesi tengah beberapa waktu lalu, kita telah dikejutkan dengan kebijakan manajemen Telkom telah mengganti I-SISKA billing system yang sudah digunakan sejak tahun 2009 menjadi TiBs billing system (Telkom Integrated Billing System). TiBS sebagai sistem aplikasi pemrosesan billing (billing untuk pascabayar, prabayar dan wholesale) bagi pelanggan Telkom secara integrasi untuk seluruh produk Telkom. Kebijakan pergantian billing system ini telah menimbulkan persoalan hukum secara perdata maupun pidana.

Pertama, Telkom masih memiliki hutang kewajiban untuk membayar billing system I-SISKA dari tahun 2013 sampai sekarang. Pada kontrak awal pada tahun 2009 seluruh aturan main tentang lisensi I-SISKA hanya berlaku sampai pada tahun 2012 dengan harga USD 1,48 per pelanggan. Maka untuk kontrak di tahun berikutnya harga lisensi akan menyesuaikan harga pasar di kawasan asia.

Kemudian tahun 2013 hingga September tahun 2018 Telkom masih menggunakan billing system I- SISKA, namun Telkom melakukan “penekanan” sepihak kepada distributor software I-SISKA agar tidak ada kontrak baru atas penggunaan tersebut. Setelah lebih dari satu tahun Telkom tidak juga menyelesaikan kewajiban nya bahkan terus menambah penggunaan lisensi I-SISKA sampai pada September tahun 2018 yang dapat diartikan Telkom telah menggunakan software I-SISKA secara ilegal.

Distributor I-SISKA merupakan perusahaan lokal yang telah mengelola mesin tagihan pelanggan Telkom selama kurang lebih 20 tahun tidak luput dari sasaran tembak Telkom. Telkom menjanjikan akan memberikan kontrak baru atas pemakaian software I-SISKA langsung kepada Sofrecom beserta seluruh pekerjaan lainya, yang notabene Sofrecom adalah perusahan asing. Bahkan praktek Telkom seperti ini adalah upaya mengadu domba perusahaan lokal dengan Sofrecom. Kondisi ini dapat disimpulkan Telkom lebih peduli terhadap keberlangsungan mitra asing dibanding mitra lokal yang sudah bekerja dengan profesional dan baik selama bertahun tahun.

Berdasarkan hasil audit BPK menjelaskan bahwa ada pos pengeluaran untuk pembayaran lisensi billing system sebesar Rp. 800 milyar, namun pos pengeluaran tersebut belum sampai pada pengelola billing system (perusahaan lokal) yang menjadi partner Telkom sampai saat ini. Yang jadi pertanyaan adalah Kemana Dana pos pembayaran billing system tersebut? Patut diduga bahwa telah terjadi penjarahan pembayaran billing system sebesar Rp. 800 milyar yang dilakukan oleh oknum-oknum Telkom untuk kepentingan golongannya.

Kedua, modus Telkom melakukan migrasi 4,2 juta data pelanggan secara mendadak dengan memanfaatkan rusaknya satelit Telkom 1 yang terjadi pada agustus 2017 adalah upaya menghindari kewajiban membayar hurang royalty/lisensi I-SISKA billing system. Dugaan praktek migrasi data secara ilegal atau menghilangkan data pelanggan seperti ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan azas hukum bisnis dan transparansi serta dapat dianggap sebagai kejahatan kriminal yang dilakukan secara korporasi. Migrasi ini telah merusak kredibilitas Telkom sebagai perusahaan terbuka di mata internasional.

Berlarut-larutnya penyelesaian pembajakan billing system I-SISKA secara hukum mencerminkan ada persoalan krusial didalam pengelolaan manajemen Telkom selama ini. Dari kasus ini, Telkom memiliki kecenderungan selalu mempermainkan para mitra/vendornya khususnya perusahaan lokal. Praktek ini tentu merupakan signal buruk Telkom dalam mematikan perusahaan mitranya dikarenakan ketiadaan itikad baik dalam mencari jalan keluar bersama-sama.

Kebijakan menunda nunda pembayaran hutang lisensi billing system I Siska sampai saat ini, dan praktek kriminal dengan migrasi ilegal 4,2 juta pelanggan adalah perbuatan yang merusak etika bisnis dan reputasi Telkom sendiri. Tragisnya Telkom yang tidak ada itikad baik menyelesaikan persoalan dengan mencampakkan mitra lokalnya dan menggandeng perusahaan lain untuk mengganti billing system I Siska ke billing system TiBS.

Grand design yang dilakukan Telkom secara korporasi dengan cara” kotor telah menjadi preseden buruk bagi bisnis telekomunikasi di Indonesia. Karena kejahatan ini dilakukan secara sistematis dan terstruktur maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi sehingga yang paling bertanggung jawab atas kejahatan ini adalah periode Dirut Telkom Arif Yahya hingga Alex J Sinaga beserta jajarannya. Patut diduga bahwa kedua aktor ini memiliki peran penting dalam melakukan rekayasa penolakan pembayaran billing system dan migrasi ilegal data pelanggan.

Skandal ini jelas sebagai kejahatan korporasi yang sempurna, karena dilakukan secara sistematis, terstruktur dengan melibatkan banyak orang baik di Telkom dan Elit Parpol. Maka Skandal ini harus dibongkar secara terang benderang agar Telkom sebagai perusahaan telekomunikasi terbesar Indonesia tidak dijadikan sarang penjarahan uang rakyat. Aparat hukum ( Kejaksaan Agung dan KPK) harus lebih aktif membongkar aktor-aktor intelektual yang terlibat dalam skandal ini baik di institusi Telkom dan elit parpol. Tanpa ada penegakan hukum yang tegas maka kejahatan yang sama akan berulang dan akan menghancurkan Telkom di pasar telekomunikasi dunia.

Jakarta, 4 Oktober 2018

Gigih Guntoro
Direktur Eksekutif Indonesian Club

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.