By Djoko Edhi Abdurrahman (Anggota Komisi Hukum DPR 2004 – 2009, Advokat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU).
Saya setuju pendapat Febri Diansyah, Jubir KPK, hukum tak boleh berhenti karena kegiatan politik. Ia menjawab permohonan Menkopolhukam, Wiranto, agar operasi KPK, pause sejenak selama Pemilukada.
Dalam hukum, justice tak boleh terhalang walau langit runtuh. Itu lagu wajib kalangan hukum. Apalagi cuma pilkada! Azas “pause” yang oleh Kabareskrim sempat akan diterapkan kepada kasus Ahok, 2017, adalah contrarius terhadap Perkap (Peraturan Kapolri). Tapi tak lanjut, karena tempus delicti pelanggaran kasus Al Maidah 51, berada di luar rezim pilkada, alias acontrarius.
Azas contrarius awalnya dipakai Van Vollenhoven, bahwa Hukum Islam baru dapat berlaku setelah diresepsi oleh Hukum Adat (Adat Recht). Dengan kata lain, Adat Recht harus didahulukan baru bisa diterapkan Hukum Islam. Maka, contrarius sangat terkenal. Hazairin belakangan memenangkannya di Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan azas acontrarius, kebalikan dari Van Vollenhoven.
Dalam kasus pilkada yang diminta Wiranto ditunda, di mana Kapolri dan Jaksa Agung menunda pengusutan kasus hukum pidana calon kepala daerah (Cakada), berdasarkan contrarius, dimunculkan rezim pilkada sebagai pelawan yang, kudu didulukan. Dasarnya adalah diskresi (AUPB) terhadap KUHAP. KUHP dan KUHAP harus mengalah terhadap rezim pilkada, atau contrarius!
Saya ragu diskresi cara itu benar. Sebab algemene beginselen van behorlijk bestuur (AUPB) tidak bebas nilai, dibatasi 4 unit kontrol: (i) Exccess du Pavoir (penyalahgunaan kekuasaan), (ii) Detournament du Pavoir (penyalahgunaan wewenang), (iii) Onrechtsmatige Daad (perbuatan melawan hukum), dan (iv) Tort (kesalahan pidana) yang berlaku bagi pelaksana hukum.
Tentu saja dengan mudah ditemukan puluhan alasan pemerintah sebagaimana dikemukakan Wapres Jusuf Kalla, Jakgung Prasetyo, Prof Tito Karnavian, dan Jenderal Wiranto: demi kondusifnya pesta demokrasi, bla bla bla! Bukan sebaliknya demi kondusifnya law enforcement. Akibatnya tak jalan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945: Indonesia Negara Hukum! Artinya (i) Supreme of law, (ii) Equality before the law, dan (iii) Due process of law, mau – tak – mau harus ditegakkan. Tak ada jalan lain. Demokrasi dilarang mengganggu hukum!
Contrarius rezim pilkada terhadap KPK, tak berlaku! Status UU No 30 tahun 2002 tentang KPK adalah lex specialist terhadap KUHAP, termasuk Perkap. Dari situ Agus Rahardjo, Ketua KPK, menolak usul contrarius Wiranto. Menurut saya, juga terhadap perbuatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara, termasuk extra ordinary crime. Rusak berat KPK jika mengikuti usul pemerintah. Melanggar hukum, dan mengorbankan trust yang dibangun susah payah itu. Cukup kasus korupsi RS Sumber Waras itu pelajaran mahal yang hingga hari ini jadi preseden buruk KPK yang belum bisa diclearkan.
Saatnya Ini KPK kudu mengintensifkan OTT nya terhadap korupsi yang dilakukan Cakada selaku penyelenggara negara. Pilkada justru ajang rasuah yang paling mengerikan. Semua Cakada butuh rasuah untuk biaya pilkada. Mestinya 92% Cakada yang sudah dilidik itu segera ditersangkakan. Membiarkan rasuah mengamuk di pilkada, sama saja dengan melegitimasi rasuah. Menurut saya, usul contrarius pemerintah itu, latar belakangnya karena ramainya kepala daerah yang dicokok KPK. Lalu KPK yang dianggap keliru, dan harus dihentikan. Lalu pemerintah koor: KPK mengganggu demokrasi. Sebelumnya KPPU menjelaskan 80% proyek infrastruktur adalah hasil KKN. **