Home Bandung Konflik Tanah Dago Elos yang Belum Lolos

Konflik Tanah Dago Elos yang Belum Lolos

2891
0

JABARSATU – Kasus tanah Dago Elos makin panas. Warga Dago Elos yang berada di sekitar terminal Dago, Kota Bandung terancam terusir dari tempat tinggalnya. Karena sebanyak 341 Kepala Keluarga digugat oleh tiga orang yang mengaku sebagai pemilik lahan atas dasar hak barat yang diberikan oleh kerajaan Belanda.

Jaringan Massa Rakyat Pejuang Agraria (JMRPA) menilai pemerintah Jawa Barat tidak punya itikad baik untuk menyelesaikan konflik agraria di Jawa-Barat. Hal ini terlihat dari makin maraknya penggusuran, kriminalisasi aktivis, dan pemberangusan organisasi rakyat di Jawa Barat.

Bagi JMRPA, konflik tersebut terjadi karena pemerintah berpihak kepada pemodal. Sehingga rakyat yang menjadi korban.

Para penggugat yang mengaku keluarga Muller melalui PT. Dago Inti Graha telah memenangkan gugatannya tersebut dan surat eksekusi telah keluar. Namun hingga kini warga Dago Elos masih melawan. Warga menganggap putusan tersebut bertentangan dengan UUPA dan seharusnya hak-hak barat tersebut berubah menjadi milik negara pasca kemerdekaan.

Pada sidang ke 25 Putusan di gelar kembali di Ruang Sidang 1 Kusumah Atmadja PN Bandung Jl. RE Martadinata No 74-80 Kota Bandung Jawa Barat, 24 Agustus 2017, warga Dago Elos kembali mengikuti jalannya sidang terkait nasib mereka kedepannya. Warga sangat antusian dan penasaran dalam hasil putusan yang akan di bacakan, dan warga cukup berharap Hakim Ketua (Wasdi Permana) bisa bijak dalam membacakan hasil putusan, karena jelas saat ini warga dago yang tinggal berharap hasil dari sidang ini bisa mempertahankan tempat tinggal mereka, dan tidak berat sebelah.

Sidang sengketa tanah Verponding PN Bandung, Pt. Inti Graha Dago Vs Masyarakat sebanyak 331. Masyarakat Dago merasa kecewa setelah mendengar bacaan Hakim, yang tidak memperhatikan masyarakat luas, dan terasa berat sebelah, karena lebih keberpihakan pada penggugat, padahal sebelumnya bukti-bukti sudah di berikan untuk di ketahui oleh Hakim dalam berjalannya sidang, tapi hakim tidak mempertimbangkan, bahkan di anggap bukan suatu bukti kuat, bahkan di patahkan. Menurut Asep Mamun selaku penggarap,

“Saya tidak bicara kepemilikan, tetapi penggarap yang belum di tingkatkan haknya, sidangpun tidak ada penjelasan rinci kepekilikan sah tanah verponding, bahkan ada risalah tanah yang sudah di aktakan tahun 1820 dari Simongan ke Muller, yang tidak di perlihatkan jelas, dan sudah jelas BPN pun menyatakan, bukan atas Muller tahun 2016, sebelumnya tahun 2000 BPN menyatakan yang sama,”ungkapnya. |TEKS/FOTO: OMES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.