Kecuali memiliki kesamaan nama, saya tidak memiliki hubungan apapun dengan Hermansyah, pakar TI asal ITB, yang kemarin dipukuli, ditendangi dan dibacoki oleh sosok-sosok misterius di tol Jagorawi, hingga kondisinya kritis.
Saya baru tahu yang bersangkutan ternyata pernah mengungkap kejanggalan kasus chatting mesum di WA yang disangka melibatkan Habib Rizieq dan Firza Husein.
Melalui tulisan sederhana ini, saya hendak menyampaikan semacam oversight, dengan menyodorkan kemungkinan-kemungkinan dan konsekwensi-konsekwensinya.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin menyegarkan kembali mengenai apa itu hubungan kronologis dan hubungan kausalitas. Hubungan kronologis belum tentu memiliki hubungan kausalitas, sedangkan hubungan kausalitas pasti memiliki hubungan kronologis.
Kalau kita mampir di sebuah kampung sekitar subuh, kemudian ayam-ayam di sana berkokok, itu adalah contoh hubungan kronologis. Kedatangan kita bukanlah sebab yang membuat ayam-ayam itu berkokok. Dengan kata lain, ayam-ayam itu berkokok tidak diakibatkan oleh kedatangan kita. Tidak ada kausalitas di situ.
Kalau di suatu subuh kendaraan kita melindas seekor ayam, kemudian pemiliknya mengejar kita dengan membawa golok, itu menandakan ada hubungan kausalitas. Melindas ayam itu sebab dan mengejar sambil membawa golok itu akibat. Bisa juga di sini dikatakan aksi menimbulkan reaksi. Jadi, sifatnya tidak semata-mata kronologis.
Dalam kasus penganiayaan Hermansyah, sudah pasti yang terjadi adalah hubungan kausalitas. Ada sebab, ada akibat. Hanya saja, sampai saat ini timbul dua penafsiran.
Pertama, penyebabnya adalah senggol-senggolan mobil di jalan tol. Akibatnya, mereka emosional, lalu melampiaskannya dengan cara memukuli dan membacoki Hermansyah. Penafsiran ini pada muaranya berkesimpulan bahwa ini adalah kasus kriminal murni, tanpa motif apapun selain pelampiasan kejengkelan atau kemarahan yang spontan.
Kedua, senggol-senggolan mobil di jalan tol itu sesungguhnya bukan hanya sebab, tapi juga metode. Artinya, para pelaku sengaja merekayasa situasi sedemikian rupa, supaya memiliki peluang untuk menganiaya Hermansyah. Di baliknya ada motif tertentu. Penafsiran ini pada ujungnya berkesimpulan bahwa kasus ini bukan sekadar kriminal murni.
Mana di antara dua penafsiran itu yang paling mendekati kenyataan, mari kita ulas.
1. Lokasi
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat kita ajukan: Mengapa TKP-nya di km 6 tol Jagorawi? Kebetulan saja, atau memang TKP itu yang sengaja jadi pilihan yang lebih menguntungkan para pelaku?
Pihak kepolisian mengatakan, locus delicti peristiwa ini adalah tol Jagorawi, km 6. Km 0 berada di Cililitan. Artinya, TKP berada sejauh 6 km dari Cililitan, yaitu wilayah Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Kita tidak boleh terkecoh, Kecamatan Cipayung ada dua. Yang satu termasuk wilayah Depok.
Apa yang unik dari km 6 tol Jagorawi? Antara km 5 s/d 8 tol Jagorawi tergolong ruas tol yang multiple choices. Di sekitar situ, kita punya banyak pilihan untuk melanjutkan perjalanan. Jika kita berasal dari arah Tanjung Priok, kita bisa balik ke arah tsb, dengan melingkar lebih dulu. Kita bisa juga lurus terus, dengan ambil lajur paling kanan, ke arah Depok, Cibubur, Bogor sampai Ciawi. Dengan mengambil lajur paling kiri, kita bisa keluar tol dan masuk jalan Hankam, di sekitar TMII. Ada pula opsi untuk melaju ke arah Jakarta Selatan, lewat tol Simatupang, yang bisa berlanjut hingga ke Lebak Bulus sampai Serpong. Di luar itu masih ada pula opsi-opsi lainnya, misalnya meluncur ke tol Lingkar Timur yang bisa tembus ke Bekasi, Cikampek dan seterusnya.
Jika kita belum pernah lewat jalan darat di area itu, dan hendak masuk tol, kita bisa dipusingkan oleh banyaknya pilihan. Google map tidak banyak membantu. Kita malah bisa diajaknya berputar-putar mengitari wilayah TMII-Hankam sampai beberapa kali. Saya pernah mengalaminya.
Hermansyah, yang hendak ke Depok dari Jakarta (?), sebenarnya masih harus menempuh 10 km lagi, sebelum dia keluar tol Jagorawi, lalu masuk ke tol Cinere menuju Jln Juanda, Margonda, dst di kota Depok. Pintu tol keluar ke arah itu berada di km 16 tol Jagorawi.
Tol Jagorawi km 6 dengan karakteristiknya sebagaimana saya jelaskan di atas agaknya bukan sekadar jalan tol yang kebetulan jadi TKP. Area itu menjadi pilihan yang nyaris sempurna untuk mengaburkan diri (escape) sekaligus mengacak jejak.
2. Waktu
Pertanyaan yang dapat kita kemukakan: Mengapa waktu kejadiannya menjelang subuh? Apa untung-ruginya buat para pelaku?
Timing atau pemilihan waktu adalah faktor yang sangat menentukan berhasil tidaknya tindak kejahatan. Waktu di sini satuannya bukan saja hari, tapi bahkan sampai ke jam, menit hingga detik.
Pihak kepolisian mengatakan, tempus delicti peristiwa ini adalah Minggu (9/7/2017) sekitar pukul 4 dini hari atau menjelang subuh.
Minggu dini hari, di dalam kota Jakarta, biasanya masih cukup banyak polisi berjaga dan berkeliling. Bahkan, ada guyonan begini: Kerja Minggu dinihari itu hasilnya setara dengan kerja satu Minggu. Itu lantaran, pada Minggu dinihari, polisi bisa dengan gampang mendapati pemuda-pemudi yang keluar dari tempat hiburan dengan kondisi mabuk karena minuman keras, bahkan teler karena narkoba. Di jalanan, ketika pulang, orang-orang begini sering bikin perkara, dari kebut-kebutan sampai menabraki orang dan pohon. Pada Minggu dinihari, polisi-polisi Jakarta juga sering memergoki bule-bule dari Kemang yang paspor, visa atau dokumen-dokumen lainnya tak dibawa. Untuk urusan yang satu ini, yang paling mengerti adalah para sopir taksi.
Sebaliknya, di jalan tol Jagorawi, apalagi arah Bogor, Minggu dinihari sungguh lengang. Ramainya adalah Sabtu pagi hingga tengah malam, lalu Minggu pagi sampai sore, karena penduduk Jakarta berbondong-bond
ong hendak ke Kebun Raya dan ke Puncak.
Para pelaku, dapat kita duga, memang memperhitungkan keadaan tol Jagorawi pada Minggu dinihari, selain memperhitungkan hal-hal lain, misalnya kapan si korban melaju di jalan tol dan dalam kondisi fisik yang bagaimana. Dinihari, bagi orang yang habis begadang, adalah waktu yang rawan untuk mengantuk. Kesegaran badan juga berkurang drastis.
Pada jam segitu, polisi jarang ada di jalan tol, kecuali pada musim mudik. Demikian juga dengan iring-iringan pejabat yang pakai voorijder. Jadi, itu waktu yang nyaris sempurna untuk berbuat apa saja.
3. Mobil
Mengapa para pelaku mengendarai dua mobil? Mengapa mereka memakai mobil Jazz dan sedan?
Pihak kepolisian mengatakan, saat kejadian, Hermansyah menggunakan mobil Avanza warna putih dengan nomor polisi tertentu (Saya tidak setuju nomor polisi diumbar, karena beresiko besar bagi pemiliknya).
Dia, bersama istrinya, beriringan dengan adiknya yang mengendarai mobil lain. Saat Hermansyah berhenti seusai senggol-senggolan mobil lalu terjadi penganiayaan, adiknya telah jauh berada di depan. Belum ada info mengenai jenis mobil adiknya.
Dari foto-foto yang beredar, meski tidak ada penanda yang eksplisit di bagian belakang mobil, kita dapat mengidentifikasi tipe mobil yang dipakai Hermansyah. Perhatikan bagian fog lamp yang cuma ada tempat tanpa lampu dan spion yang bagian bawahnya ada variasi hitam. Ya, itu adalah Avanza tipe E atau tipe terendah. Silindernya 1300 cc.
Dipakai sejak tahun 2015, sebenarnya mobil Hermansyah masih terbilang muda. Namun, di jalan tol, yang paling menentukan laju kendaraan bukan usia mobil, tapi mesinnya. Di jalan tol, mobil-mobil 1300 cc tentu akan sangat kesulitan menyamai, apalagi menyalipi mobil-mobil yang cc-nya 1500 ke atas, jika sama-sama digas maksimal.
Para pelaku menggunakan mobil Jazz dan sedan (?). Jazz itu 1500 cc. Sedan, entah apa merknya, pada umumnya 2000 cc ke atas. Di jalan tol, selain dapat melaju lebih kencang dibandingkan Avanza tipe E, dua mobil itu jauh lebih stabil–tidak mudah oleng dan limbung.
Para pelaku sepertinya sengaja menggunakan mobil yang kecepatan dan kestabilannya tidak selevel dengan mobil korban, apalagi yang levelnya berada di bawahnya. Bayangkan apa yang terjadi jika para pelaku menggunakan mobil seperti Agya, Ayla, Sigra, dll.
Dengan dua mobil, agaknya para pelaku sudah mengatur pembagian peran. Satu mobil bertugas untuk mengalihkan perhatian sekaligus menghalau mobil adik si korban. Satu mobil lainnya bertugas sebagai pelaksana rencana.
Tapi, sebagaimana operasi kejahatan profesional lainnya, tidak tertutup kemungkinan para pelaku sesungguhnya memakai tiga mobil. Dengan tiga lapis, ada yang bertugas sebagai pembuka, eksekutor dan pengaman.
4. Lajur
Lajur manakah yang dipakai Hermansyah? Dan di lajur mana dia berhenti, kemudian dianiaya?
Pihak kepolisian, sejauh ini, belum menyampaikan. Mungkin karena awak media tidak ada yang menanyakannya.
Di tol jagorawi ke arah Bogor, ada tiga lajur: kanan (cepat), tengah (sedang) dan kiri (lambat). Satu lajur lagi yang paling kiri adalah untuk keadaan darurat.
Jika Hermansyah berada di lajur kanan, berarti dia dipepet dari kiri. Kalau dia membanting stir ke kanan, bemper depannya berpotensi menghantam pembatas jalan tol, dan kemungkinan terburuknya adalah mobilnya mental dan terguling-guling.
Jika dia berada di lajur tengah, dia bisa dipepet dari kanan maupun kiri. Dampaknya tidak terlalu fatal, karena dia bisa bermanuver ke kanan maupun ke kiri, apalagi saat itu tol sedang sepi.
Jika dia berada di lajur kiri, dia dipepet dari kanan. Memang beresiko, tapi resikonya tidak terlalu besar, karena masih ada ruang di sebelah kirinya, yakni lajur darurat.
Dari kabar yang disampaikan pihak kepolisian, dapat kita duga, Hermansyah tidak melajukan kendaraan di lajur kanan. Apalagi, ketika lengang, mobil-mobil di lajur kanan tol Jagorawi pada umumnya melaju dengan kecepatan di atas 120 km/jam. Akan susah buat pengguna Avanza tipe E. Sedikit-sedikit pasti kena kilatan lampu peringatan dari mobil-mobil di belakangnya.
Setelah senggolan, Hermansyah mengejar pelaku dan kena. Berarti, dengan cc yang lebih besar, pengendara Jazz yang menyenggol itu sengaja mengurangi kecepatannya, sementara mobil sedan melakukan akselerasi supaya bisa jadi back up. Besar kemungkinan, mereka berhenti di bahu jalan (lajur darurat). Para pelaku kemudian memukuli dan membacoki Hermansyah.
Dari sini, para pelaku memperhitungkan: Sulit menerapkan skenario kecelakaan, dengan membenturkan bodi mobil ke bodi mobil Heemansyah, karena saat itu calon korban tidak berada di lajur kanan. Skenario lainnya: kontak fisik langsung.
5. Security
Meski ada saksi mata, mengapa sampai sekarang belum ada informasi penting, misalnya warna dan plat mobil para pelaku?
Sebagaimana sekarang heboh fake GPS, sudah dari dulu ada namanya fake police number atau plat mobil palsu. Jika memang direncanakan atau didasari motif tertentu, para pelaku tidak bakal memasang plat mobil asli. Yang dipasang pastilah angka-angka pengecoh.
Demikian juga dengan alat komunikasi. Jika tidak ingin terdeteksi, hanya ada dua pilihan: Pakai alat komunikasi khusus atau tidak pakai HP sama sekali. Memakai HP untuk koordinasi sama halnya bunuh diri.
Bagaimana dengan CCTV? Di setiap pintu masuk-keluar tol sudah pasti ada CCTV. Demikian juga di banyak titik strategis, misalnya di perempatan yang ada lampu merahnya. Masalahnya: apakah saat itu CCTV-CCTV di sekitar TKP dan jalur-jalur yang dilewati para pelaku itu berfungsi dengan baik?
Sampai saat ini, saya berhipotesis bahwa ini bukan kasus kriminal biasa. Saya 100 persen yakin, polisi MAMPU mengungkapnya, tapi saya belum yakin, polisi MAU melakukannya.
Jakarta, 10 Juli 2017, pukul 12.37
Survei CELIOS 2025 Terkait Pemangkasan Anggaran untuk Keadilan Fiskal dan Kesejahteraan Rakyat.
PRIBUMINEWS.CO.ID – Pemerintah telah memangkas anggaran sebesar Rp306,7 triliun berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1...