JABARSATU – Kementerian Perindustrian mendorong pertumbuhan industri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, salah satunya dengan meminta produsen biodegradable plastic atau plastik yang mudah terurai secara alami untuk meningkatkan produksinya. Upaya ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pelestarian lingkungan hidup.
“Kami mendukung pabrik ini agar terus ekspansi dan mengembangkan teknologinya. Bahkan, potensi investasinya masih cukup besar,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto diasampaikan dalam rilisnya saat mengunjungi PT Inter Aneka Lestari Kimia dan PT Harapan Interaksi Swadaya di Tangerang, Banten, Senin (8/5/2017).
Biodegradable plastic merupakan inovasi baru, produknya berupa kantong serupa plastik namun tidak memakai polyethylene ataupun polypropylene, sebagaimana plastik konvensional. Biodegradable plastic yang diproduksi oleh dua produsen tersebut menggunakan bahan dasar nabati, yaitu singkong.
Untuk itu, Menperin memacu peningkatan produksi biodegradable plastic hingga lima persen dari jumlah kapasitas nasional saat ini sebesar 200 ribu ton per tahun untuk menggantikan plastik konvensional yang tidak ramah lingkungan. “Sementara itu, konsumsi plastik di Indonesia mencapai lima juta ton per tahun, dan baru 50 persen yang bisa dipenuhi dari industri dalam negeri,” ungkapnya.
Pemanfaatan plastik lebih banyak diserap oleh industri makanan dan minuman sebagai pengemasan produknya. Pasalnya sifat plastik yang lebih ringan, fleksibel, dan murah dibandingkan dari material kaca dan logam. “Kalau bisa, dalam waktu dua tahun ini, produknya 10 kali lipat makin banyak. Jadi, tidak hanya menggantikan untuk shopping bag tetapi juga packaging secara keseluruhan, dan tidak hanya di pasar modern tetapi juga tradisional,” papar Airlangga.
Pemerintah menyadari bahwa tidak akan bisa untuk menghapus penggunaan produk plastik secara keseluruhan. Namun, yang paling memungkinkan adalah memakai ulang plastik (reuse), mengurangi pemakaian plastik (reduce), mendaur ulang sampah plastik (recycle), serta mengembalikan ke alam (return) melalui penguraian alami (biodegradable).
Sementara itu, Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Harjanto menyampaikan, permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh sampah plastik ini bukan hanya permasalahan Indonesia. Penanganannya perlu dilakukan dengan kolaborasi pihak terkait. Selain itu, Indonesia berencana untuk bekerjasama dengan negara-negara lain dalam upaya menawarkan inovasi teknologi biodegradable plastic.
“Kementerian Perindustrian dengan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) sedang menjajaki suatu kerja sama pengembangan biodegradable plastic ini dengan negara-negara Afrika penghasil singkong, yang merupakan salah satu bahan baku biodegradable plastic,” paparnya.
Kerjasama tersebut, selain sebagai suatu aksi nyata Indonesia dalam menangani pencemaran plastik, juga merupakan suatu peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan bahan baku biodegradable plastic. Negara-negara di Afrika pada umumnya tergolong sebagai Least Developed Countries (LDCs) yang umumnya mendapatkan special treatment untuk memasarkan produknya di negara-negara maju (Eropa/Amerika Serikat), dengan memanfaatkan fasilitas Generalized System of Preference (GSP) maupun Special and Different Treatment (SDT).
“Pemerintah berharap bahwa produsen biodegradable plastic Indonesia dapat memanfaatkan negara-negara tersebut sebagai basis produksi produk biodegradable plastic, yang kemudian dapat diekspor ke pasar Eropa dan Amerika Serikat,” tuturnya. (KP/JS/HMT)