JABARSATU – Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan mengaplikasikan sistem transportasi publik yang berjalan di Kota Metropolitan Chongqing, Tiongkok melalui kerja sama Sister Province yang akan ditandatangani Senin ini (8/5/2107). Chongqing bisa menjadi kiblat sistem transportasi yang terintegrasi dan lengkap mulai dari monorel, subway, bus, dan moda transportasi lainnya.
Selain itu, Jabar pun berharap pada Chongqing bisa menjadi jembatan perdagangan untuk memasarkan kopi asal Jabar di Tiongkok dan di dunia pada umumnya. Chongqing merupakan pintu gerbang perdagangan dari Asia ke Eropa. Chongqing pun menjadi pusat perdagangan kopi dunia urutan ketiga.
Sebagaimana dirilis Humas Pemprov Jabar, Kepala Biro Pemerintahan dan Kerja Sama Provinsi Jawa Barat Taufiq Budi Santoso menuturkan kedua bidang tersebut menjadi bobot yang cukup tinggi dalam kerja sama antara daerah tersebut.
“Latar belakang MoU Sister Province antara Jawa Barat dan Chongqing yaitu rencana Jabar yang akan mengembangkan transportasi dengan moda monorel terutama di Bandung Raya. Itu yang diusulkan kerja sama dengan badan usaha yang ada di Chongqing,” kata dia ketika ditemui di Hotel Glenview, Chongqing, Minggu (7/5/2017).
Menurut dia, pada prosesnya, sebelumnya Jabar dikunjungi oleh delegasi Chongqing ke Jabar pada tahun 2015 lalu. Mereka melakukan LoI (Letter of Intent) di Bandung untuk menyiapkan rencana kerja sama yang lebih luas.
“Fokusnya pengembangan perkotaan dan pengembangan layanan transportasi publik di perkotaan. Itu yang difokuskan selain pendidikan dan pariwisata,”ujar dia.
Dalam hal ini, lanjut Taufik, pihaknya ingin mempelajari sistem transportasi perkotaan yang ada di Chongqing. Menurut data analisa sekunder, Chongqing ini lengkap sistem transportasinya mulai dari monorel, subway bus dan moda lain yang disediakan untuk melayani mobilitas warga di sana.
“Monorel di sini beda, kapasitas angkutnya besar. Ini yang ingin kita pelajari sistemnya dulu. Apabila kita aplikasikan di Jabar, mana yang paling pas khususnya untuk metropolitan di Jabar, termasuk di aerocity Kertajati. Kita ingin kota baru di aerocity Kertajati lengkap dengan intermoda yang terintegrasi,” tutur dia.
Mengenai teknologi, lanjut dia, pihaknya pun akan mempertimbangkan yang efektif dan efisien. Di Indonesia memang sudah ada pembuat kereta api, tapi kita ingin lihat di Chongqing untuk mendapat kesimpulan yang paling efektif dan efisien.
“Kalau resmi beli, operasional, maintenan, transfer of knowledge pasti akan terjadi, tapi hal itu akan dibahas lebih lanjut,”ujar dia.
Yang kedua, ucap Taufik, yang menjadidi bobot yang cukup besar pada kerja sama tersebut yaitu Chongqing sebagai pusat perdagangan tidak hanya untuk Tiongkok tapi untuk negara lain di sekitar Tiongkok. Chongqing pun pintu gerbang ke Eropa.
“Meski jauh tapi ada penghubung transportasi dari Chongqing ke Eropa. Selain itu terkenal pusat perdagangan kopi, tiga besar di dunia. Di Jabar juga produksi kopi. Jadi bagaimana kopi Jabar diperkenalkan ke dunia melalui Chongqing,”ucap dia.
“Senin ini tanda tangan Insya Allah antara walikota dengan gubernur sehingga tahapan berikut kami akan mengundang mereka ke Bandung, sekalian bikin work plan yang implementatif,”terangnya.
Selebihnya, Taufik menuturkan, Chongqing ini berbeda dengan daerah lain. Wilayah tersebut merupakan kota metropolitan yang dipimpin wali kota. Tapi di sini ada sistem pemerintahannya setara dengan provinsi sehingga kedudukan wali kota sama dengan gubernur.
Pusat Dukung Daerah Kerja Sama Sister Province
Pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah menjalin kerja sama Sister Province atau sister city dengan pemerintah daerah di luar negeri. Dengan catatan, kerja sama dibangun dikarenakan daerah membutuhkan kerja sama tersebut. Namun yang paling penting, pemerintah daerah jangan sampai menjual wilayahnya kepada pihak asing tersebut.
Demikian diungkapkan Kepala Pusat Fasilitasi Kerja Sama Kemendagri, Nelson Simanjuntak di sela kunjungan kerja pemerintah Jawa Barat di Chongqing, Tiongkok, Minggu (7/5/2017).
Menurut dia, kerja sama antar pemerintah daerah sudah diatur dalam undang-undang. Di antaranya tentang perjanjian internasional dan UU Otonomi Daerah No 23/2014. Dalam pasal 363-369 diatur perjanjian dalam dan luar negeri. Kontennya untuk dalam dan luar negeri itu diserahkan ke daerah yang diawali LoI (Letter of Intent).
“Ibarat sebelum kawin saja. Nanti Sebelum MoU daerah melaporkan ke kemendagri dan kemenlu. Bilang sepakat kerja sama teknik dan bidang budaya dan lainnya dalam sister province dan city. Setelah Mou, baru nanti ditindaklanjuti melalui perjanjian kerja sama (PKS),”ujar dia.
Nelson menegaskan, konten-konten dalam PKS tersebut harus seimbang, netral, menguntungkan, saling memihak, dan tidak saling merugikan.
“Saya selalu normatif, etika hukum lakukan. Pusat kasih kewenangan kepada daerah, silakan kerja sama. Tapi kalau kami keberatan mungkin di antaranya tidak berimbang, kami tunda dulu,” jelasnya.
Diakui dia, pihaknya paling keras jika menyangkut “merah putih”.
“Kalau (pihak kedua atau pihak asing) menyimpang ya usir. Karena kewenangan pusat absolut soal pertahanan, kemanan pradilan dan finansial. Tapi saya tekankan di sini silakan kerja sama karena ini kebutuhan daerah bukan pusat. Pusat hanya exit permit saja. Kami tidak melarang kecuali jual negara,” kata dia.(PJB/JS/HMT)