Home Bisnis & Ekonomi Global Sustainability Standards Bagi IKM Masih Menjadi Kendala

Global Sustainability Standards Bagi IKM Masih Menjadi Kendala

908
0

JABARSATU – Industri nasional dinilai telah mampu menerapkan Global Sustainability Standards sebagai langkah menembus pasar ekspor. Hal tersebut ditunjukkan dengan penerapan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) di industri minyak kelapa sawit dan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) untuk industri hasil hutan. Global Sustainability Standards merupakan suatu terobosan baru untuk menghadapi persaingan yang fokus pada standar berkelanjutan dan global value chain.

“Tentunya ini terkait dengan keberlanjutan lingkungan, standar kualitas, akses pasar, dan faktor biaya,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto usai menjadi pembicara pada pembukaan Global Sustainability Standards Symposium dengan tema “The Roadmap for Sustainable Value Chains” di Jakarta, disampaikan dalam rilisnya, Rabu (3/5/2017).

Berdasarkan data yang dirilis ISEAL Alliance, beberapa contoh manfaat sertifikasi berkelanjutan global antara lain kinerja petani di sektor kakao yang mampu meningkatkan nilai tambah sebesar 69 persen dan rata-rata hasil panen akan mencapai 687 kilogram per hektare dibanding tidak tersertifikasi hanya 322 kg per ha.

Selanjutnya, untuk sektor kehutanan, desa-desa yang berada di kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tersertifikasi akan mendapatkan keuntungan lebih besar, seperti menurunkan polusi udara mencapai 31 persen. Selain itu, di industri kopi, tingkat keuntungan bagi perkebunan yang tersertifikasi akan membuat biaya pemeliharaan eksternal yang lebih rendah sekitar 20 persen dan meningkatkan keuntungan lebih tinggi sebesar 13 persen.

Menurut Menperin, pemberlakuan Global Sustainability Standards bagi industri besar tidak terlalu bermasalah, tetapi bagi industri kecil dan menengah (IKM) menjadi kendala karena faktor biaya yang harus ditanggung cukup besar. Selain itu, dalam implementasinya, produk Indonesia yang sudah bersertifikat tidak mendapatkan premium price dibandingkan produk dari negara lain tanpa sertifikat.

“Maka, kami minta agar negara yang memberlakukan standar tersebut supaya fair trade. Jadi, kalau mereka mau menuntut hal ini dari Indonesia, tentu mereka juga harus menuntut hal yang sama pada negara-negara lain,” paparnya.

Menperin juga mengungkapkan, industri di dalam negeri sudah banyak yang menerapkan standar industri hijau. “Contohnya, sudah ada pengembangan teknologi plastic biodegradable atau plastik yang dapat diuraikan kembali dan ramah lingkungan,” ujarnya. Bahkan, ke depannya, industri didorong menggunakan teknologi pengolahan sampah menjadi sumber energi alternatif.

Upaya tersebut sejalan dengan komitmen bersama antara Kementerian Perindustrian RI dengan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) untuk menciptakan pembangunan industri yang inklusif dan berkelanjutan. Hal ini tertuang dalam UNIDO-Indonesia Country Programme (ICP) 2016-2020. “Kami akan mempromosikan penerapan sistem standar optimasi dan manajemen energi di Indonesia serta pemanfaatan energi terbarukan,” tuturnya.

Menurut Airlangga, Indonesia sebagai negara kepulaun terbesar menjadi faktor penentu bagi keberlanjutan global, seperti melalui potensi laut dan hutan tropis. “Wilayah kita 80 persennya adalah laut dan laut menentukan perubahan iklim serta mampu menyerap karbon dioksida, sedangkan negara lain lebih banyak daratan. Jadi kita harus bicara karena Indonesia sebagai paru-paru dunia,” jelasnya.

Untuk itu, Menperin berharap pelaksanaan simposium ini dapat menyamakan persepsi dan saling bersinergi di antara sesama pemangku kepentingan terkait untuk menjalankan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. “Selain itu juga dapat meningkatkan dan memperkenalkan sistem standar global yang efektif,” tuturnya.(kp/js/hmt)