Home Bandung Senandung Kota Bandung (2)

Senandung Kota Bandung (2)

1372
0
OLEH Imam Wahyudi

TANPA mengurangi rasa hormat kepada para mantan walikota lainnya dengan prestasi dan kinerjanya, saya mencatat tiga sosok yang dikenali secara khas oleh sebagian besar warga Kota Bandung. Adalah H. Ateng Wahyudi (alm), H. Dada Rosada, dan Ridwan Kamil.

Ateng Wahyudi, setidaknya karena masa jabatan selama dua periode atau 10 tahun sebagai Walikota Bandung, yakni 1983-1988 dan 1988-1983. Selanjutnya Dada Rosada yang tak semata sama menjabat selama satu dasawarsa, 2003-2008 dan 2008-2013 — melainkan pula sebagai pejabat karier di Pemkot Bandung, termasuk prestasi monumental Stadion Bandung Lautan Api yang baru saja digunakan u/ acara pembukaan PON XIX Jabar 2016.

Setahu saya, Dada merintis kariernya sebagai Kabag Ekonomi dan terakhir Sekda Kota Bandung. Kecuali itu, gaung dan semangatnya mendukung prestasi Persib — yang ditandai denga pembangunan Patung Sepakbola di simpang Jl. Tamblong/Jl. Sumatra dan Jl. Lembong/Jl. Veteran hingga gagasan pembangunan stadion di kawasan Gedebage di atas yang ditujukan sebagai “home base” tim sepakbola kebanggaan warga Kota Bdg dan Jabar itu.

Giliran Ridwan Kamil yang terpilih Walikota Bandung pada pilkada 2013 untuk pengabdian selama lima tahun hingga 2018, menggantikan Dada Rosada. Greget Ridwan Kamil kadung membumi.

Rasanya tak seorang pun warga Kota Bandung, yang tak fasih menyebut nama sang walikota muda usia ini. Ada yang mengesankan dari sosok arsitektur jebolan ITB ini, saat kontestasi pilkada 2013.
Ibu kami sempat berkisah seblm akhir hayatnya dua tahun silam pada usia 77 tahun. Disapa dan diajak ngobrol oleh Ridwan Kamil sebagai calon walikota. Mengesankan, karena ibu kami, Hj. Kasripah — sejatinya buta politik, tak kecuali bab pilkada atau pemilihan walikota.
Sekadar  tahu ikhwal transaksi di “super market” pun tidak. Pergaulannya sebatas di pasar tradisi, denga budaya ‘tawar menawar’ dan hemat. Selebihnya khas “jadul”. Hehe…

Kembali ke sosok Ridwan Kamil, namanya mencuat tak cuma di jagat Bandung Raya — namun melampaui batas wilayah, alias dikenal secara nasional. Justru sejak sebelum separuh masa jabatannya. Tentu, lantaran prestasi dan reputasinya dlm menata Kota Bandung langkah kinerja yang dapat disebut ‘ngebut’ dan mengumbar greget. Hasilnya trotoar yang bagai disulap menjadi tampil beda, indah dan asri — karena juga material bahan yang digunakannya tak sekadar seperti sebelum ini. Warga dan pejalan kaki pun merasa nyaman menikmati dengan duduk dan bercengkerama di bangku-bangku  permanen yang mengoptimalkan fungsi tak semata trotoar. Bersamaan denga itu adalah penataan dan pembangunan taman-taman tematik yang kini jadi ‘magnet’ bagi khalayak  untuk yang senang keluar rumah dan sekadar rekreasi gratis.

Dalam hal tata trotoar, tampak nyata ‘keunggulannya’ di sepanjang ruas utama Jl. Asia Afrika. Khususnya dari simpang Jl. Tamblong hingga kawasan alun-alun, di antara Gedung Merdeka yang bersejarah itu. Moment peringatan 60 Th Konferensi Asia Afrika (KAA) menjadi saksi prestasi Ridwan Kamil. Karuan pada menjelang sore hingga malam hari menjadi tujuan dan daya tarik warga, bahkan dr luar Kota Bdg. Terlebih di akhir pekan, keramaian di kawasan utama Jl. Asia Afrika — berlangsung hingga larut malam.

Dua pekan lalu, sang istri bercerita tentang taman baru dengan nama Teras Cikapundung di ‘cekungan’ atau ‘lebak’ Jl. Siliwangi, Bandung Utara. Mengesankan ‘pantai’ di bibir ‘laut’ Kali (sungai) Cikapundung. Sekurangnya tiga dasawarsa silam pd 1980an, di lokasi yang belakangan dihuni para penjual tanaman hias — pernah akan dibangun hotel bintang-5, karena daya tarik aliran sungai (hulu) itu.

Tapi PHRI Jabar yang diketuai Sanusi (pemilik Hotel Sanirosa di Jl. Hegarmanah/Jl. Setiabudi -pen) tidak menerbitkan rekomendasi. Bisa jadi terkait dengan ‘persaingan’ bisnis perhotelan, namun masa itu — rekomendasi dari induk organisasi mutlak diperlukan. Pun berlaku di kalangan pelaku radio siaran swasta, rekomendasi harus lebih dulu dipintakan kepada PRSSNI setempat.

*

TAK dipungkuri kinerja Ridwan Kamil, dengan sederet hasil yang sudah dirasakan segenap warga Kota Bdg. Dlm konteks apresiasi itu, saya ingin mengemas saran, gagasan dan kritik.

Sedikitnya ada tiga area taman, yang hemat saya perlu jadi perhatian setara prioritas — mengingat lokasinya yang strategis dan bagian dari wajah kota. Sebutlah Taman Lalulintas (Traffic Garden) “Ade Irma Suryani” yang berlokasi di “bingkai” ruas Jl. Belitung, Jl. Sumatra dan Jl. Aceh. Nama Ade Irma adalah puteri Jenderal AH Nasution, yang jadi korban di antara Tujuh Pahlawan Revolusi dalam peristiwa berdarah G-30-S/PKI 1965. Sudah bisa ditebak, taman itu milik Kodam-III/Siliwangi (kala itu kodam-VI).

Rasanya tak ada yg “berubah”, tak kecuali area parkir yg kini dibutuhkan perluasan. Pdhl arena rekreasi edukasi dlm berlalu-lintas ini sungguh diperlukan bg kanak2, spt dulu sy alami. Sungguh pula diperlukan penataan scr lbh estetis dan modern, sejalan dg kekinian. Slm ini, sangat mungkin — pemeliharaan minimalis hanya dilakukan pihak pelola dlm bentuk yayasan. Hemat sy, Pemkot Bdg berkepentingan u/ mengangkat “derajat” taman lalu-lintas itu, setara bagian dr metropolitan Bdg. Perkara milik Kodam-III/Siliwangi, kiranya dimungkinkan u/ dirembug.

Selanjutnya, kawasan yang dikenal Stasiun Hall yang semrawut, kumuh dan bau. Lagi2,  bukan aset Pemkot Bdg, melainkan milik PJKA (kini PT KAI). Berganti walikota, ber-tahun2 lamanya, kawasan depan Stasiun KA ini — tak tersentuh penataan Kota Bandung. Kini, sepanjang hari jadi picu kepadatan lalu-lintas kendaraan di sepanjang Jl. Kebonjati/Jl. Suniaraja. Di malam hari, penerangan temaram dan cenderung gelap kecuali di deretan kedai sate dan perkedel “bondon” yang kadung populer, serta aktivitas mesum yg kian marak. Andai sinerjitas dapat dibangun antara Pemkot Bdg dan PT KAI, rasanya kita boleh berharap hadirnya plaza yang lega di kawasan itu, yang memungkinkan pula dilengkapi area parkir yang cukup lega. Bagaimana pun, kawasan ST Hall itu bagian dari wajah kota dengan lokasi sentral.

Apa jadinya, bila terus dibiarkan terlantar? Apalagi hanya krn alasan milik PT KAI. Toh, hal serupa sudah dilakukan di kawasan gudang dan kargo milik PT KAI di bagian barat kawasan Stasiun Bandung yang kini berdiri Paskal Square — meski bekerjasama dengan pihak swasta (pengembang).

Bidang lahan yang juga perlu perhatian adalah area Gelora Saparua. Beruntung ada ‘moment’ PON XIX Jabar 2016. Arena atletik atau track jogging yang selama ini tampak seadanya, kini dijadikan arena olahraga sepatu roda. Betapa lama tak terurus, di satu sayap gelora — dibangun lapangan bola basket yang jauh dr representatif, dan aktivitas peminat ‘skate board’ serta di sayap lainnya pernah berdiri dinding buatan untuk  latihan panjat tebing. Sementara ‘hall’ badminton pernah sangat lama dimanfaatkan sebagai arena pertunjukkan musik. (Ikhwal ini, akan ditulis dlm seri berikutnya).

Sependek yang saya ketahui, antara lapangan dan hall di kawasan Gelora Saparua ada dua kepemilikan. Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar. Dalam kaitan pemeliharaan arena pascaPON XIX, tentu harus jelas pihak yang berkewajiban — karena dibutuhkan alokasi dana melalui APBD. Tanpa kejelasan itu, kita khawatir kelangsungan dan keberadaan fasilitas olahraga itu akan kembali merana. Cepat  atau lambat! (Bersambung).