OLEH IMAM WAHYUDI
JUDUL di atas, mungkin saja bombastis. Tp itulah yang kerap kita dengar, dan konon memang terjadi. Berlangsung dan bagai mentradisi.
Penyebabnya dimungkinkan dari faktor jabatan penguasa yang bersifat temporer, berbanding posisi pengusaha yang kebalikkannya. Akibatnya virus “aji mumpung” kadung menyengat sekujur tubuh. Perkara penguasa merangkul pengusaha adalah hal yang biasa, lumrah, bahkan wajib u/ garapan tertentu. Tp, tentu — tak patut mengorbankan kepentingan publik dan hal-hak prinsip tata-kelola.
Kerjasama serupa dengan pihak ke-tiga itu memang perlu didorong dan dioptimalkan u/ menghasilkan pembangunan bagi segenap rakyat. Ini, lantaran kemampuan APBD (juga APBN) masih terbatas volumenya dan anggaran belanja rutin yang juga masih lebih besar dibanding anggaran u/ membangun secara berkelanjutan. Solusinya, ya itu tadi — menggandeng pihak swasta, yang notabene pengusaha. Swasta yang saya maksudkan, bukanlah pihak ke-tiga atau rekanan yang bergiat mengerjakan proyek-proyek pemerintah — melainkan yang berdiri sendiri yang lazim disebut pengembang (developer).
Kerjasama dimaksud, bahwa pihak swasta membiayai dan memasarkan sendiri atas produk yang dibangunnya. Semisal dlm pembangunan kawasan komersial, semisal pusat perbelanjaan, supermall, sarana dan prasarana hiburan, permukiman hingga kota baru. Menggandeng bisa berarti memanfaatkan lahan yang belum tergarap milik pemerintah, hingga penunjukkan dan atau penyediaan lahan milik warga. Yang dimungkinkan bisa dibebaskan hingga pembangunan yang bersifat revitalisasi. Dalam konteks itu, pemerintah mengeluarkan perizinan dan atau membuat regulasi sebagai payung hukumnya.
Fakta di lapangan, kerap kita lihat tak sesuai dengan harapan. Bahkan tak sesuai dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Secara gamblang, tidak sesuai dengan kelaziman. Misal bangunan publik, yang prasyaratkan adanya area “drop-off”.
Kita tengok bangunan Bandung Indah Plaza (BIP) di Jl. Merdeka, yang bagian pintu utama (baca: lobby) tidaklah sejajar dengan bahu jalan — melainkan menjorok ke dlm arena hingga tepi lobby sebagai area ‘stop’ sejenak u/ menurunkan penumpang atau memanfaatkan jasa “valet” parkir.
Dengan demikian, mobil di belakangnya tak terganggu u/ tetap melaju. Begitulah standar pendirian bangunan publik, yang bersifat universal, seperti umumnya bangunan hotel berbintang. Dengan demikian, kepentingan publik tidak terganggu, tak kecuali alasan estetika kawasan.
Hal di atas, coba bandingkan dengan keberadaan Pasar Baru Trade Center di Jl. Otista. Mengapa bangunan berlantai yang menampung banyak pengunjung setiap harinya, tidak difasilitasi area “drop-off” sesuai mestinya? Pertanyaan ini ber-tahun2 menggantung di fikiran saya. Karuan, pemandangan kepadatan lalulintas di sekitar itu muncul setiap hari, sejak pagi hingga menjelang petang. Picunya, karena terhambat oleh mobil yang tengah menurunkan penumpang dan berlangsung secara berulang.
Saya meyakini, bahwa perjanjian dan kesepakatan awal mensyaratkan adanya fasilitas “drop off” tadi (lihat maket bangunan di bawah ini dan bandingkan dg realusasinya -pen). Nah, saat proses pembangunan dimulai dan dianggap sudah tidak ada “kegaduhan” yang mengganggu — konon pihak pengembang mengajukan “adendum” (perubahan) perjanjian atau regulasi yang sudah disepekati awal.
Mudah dianalisis, dengan meniadakan area “drop off” (yang berkonsekuensi menyita luas lahan -pen) — maka berapa puluh tambahan kios di bidang tegakan seluas lahan yang seharusnya menjorok — dapat dibangun?! Itu artinya sejumlah dana yang bisa mencapai milyaran dapat masuk kantong si pengembang selama masa kerjasama berlangsung.
Karuan sang pelolanya, rela menggaji sejumlah satpam yang difungsikan mengatur dan mengamankan “kesemrawutan” lalulintas. Toh, nilai rupiah jauh lbh kecil dibanding hasil “kongkalikong” atau “akal bulus”. Celakanya pihak pemerintah (sebut saja oknum) “tergoda”, dan mau mengabulkan. “Tergoda” dpt diduga sbg “ada udang di balik tepung.” Ada jg yg menyindir, semata krn “ada fulus di balik kebijakan”.
Itulah yang saya maksud denga judul seri tulisan ini. Tak semata mengorbankan estetika kawasan, tapi sekaligus mengorbankan kepentingan khalayak — khususnya pengguna mobil dan angkutan umum. Pengusaha, terbukti mengabaikan itu dengan orientasi “income” semata. Sebaliknya sang penguasa (sebut saja oknum) sdh merasa “running well” dari gangguan dan kontrol. Makna lain telah terjadi “pengelabuan” kebijakan yg semula sesuai aturan, menjadi terkesan mumpung berkuasa. Andai pun kelak dipersoalkan, si oknum itu sudah tak lagi menjabat.
Sudah berpindah pos atau pensiun. Yang pasti, keberadaan penyimpangan itu menjadi permanen — kecuali walikota berani instruksi u/ dirubuhkan. Bila itu terjadi, giliran pengusaha dipaksa merugi. Dampaknya, sangat mungkin dpt meminimalisasi pelanggaran berikutnya.
Hal serupa berulang di kawasan area Parijs van Java (PvJ) di Jl. Sukajadi. Bedanya latar depan berupa lahan terbuka, yg memungkinkan diberlakukan wajib menjorok dr bentang badan jalan. Saya pernah menduga, kondisi kepadatan lalu-lintas di sekitar kawasan — sengaja diciptakan, agar pengguna mobil merasa jenuh dan akhirnya mau mampir ke kawasan komersial yg dilolanya. Tapi saya tak lagi meyakini dugaan itu.
***
MASIH mengait dengan kepentingan publik, utamanya kebanggaan warga Kota Bandung — adalah perubahan nama Bandung Supermall (BSM) di Jl. Gatot Subroto. Secara fasilitas, termasuk “menjorok” ke dalam area kawasan — sudah terpenuhi cukup baik.
BSM kadung melekat dlm benar warga. Pun boleh disebut jd bagian “icon” Kota Bandung. Terlebih dengan fasilitas yang mengindonesia, berupa Trans Studio — arena fantasi modern kelas dunia. Bahkan di setiap angkot u/ trayek yang melalui jalur itu, tertulis BSM. Kali ini, menyusul Trans Studio — nama BSM diubah atau diganti jadi TSM (Trans Studio Mall). Bisa jadi adanya perubahan kepemilikan. Tapi hemat saya, dimungkinkan adanya kebijakan walikota tentang itu. Moga Ridwan Kamil selaku Walikota Bandung sekaran mampu menangkap sinyal warganya u/ mengembalikan nama BSM seperti semula. Mengapa? Sekurangnya ada sebutan Bandung dalam kata BSM.
Lagi, inilah yang saya maksud dengan “penguasa dikalahkan pengusaha”. Bolehlah bergandeng tangan, tapi tidak harus di semua lini — khususnya bab kebijakan publik yang harus berlanjut dalam rentang waktu lama. Selebihnya, kami bangga menjadi warga Kota Bandung…! ***
Buahbatu, 151016.
(TAMAT)