OLEH IMAM WAHYUDI
KEBERADAAN kota-kota di Pulau Jawa — umumnya ditandai dg tiga bangunan utama dan satu area publik — AD adalah pola “seragam” yg dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda. Adalah pendopo sbg pusat pemerintahan — sekaligus kediaman resmi kepala pemerintahan (dlm hal ini bupati atau walikota), Mesjid Agung, dan bangunan kokoh bernama penjara (bui). Satu lainnya berupa area publik, lazim disebut alun2 atau sentra kegiatan warga.
Itulah peninggalan dr masa penjajahan Belanda, selain bangunan2 monumental dan bersejarah. Dimaklumi, bukan tanpa maksud dan tujuan. Pemerintah Belanda berkepentingan mengawasi scr terus menerus kegiatan dan prilaku rakyat yg menjadikan alun2 sbg pusat keramaian. Itulah pendopo ditempatkan berhadapan dg alun2. Pun bangunan Mesjid Agung di area berdekatan, selain memaklumi mayoritas pemeluk agama Islam — dimaksudkan pula agar mudah dilakukan pengawasan. Sementara bangunan penjara, dimaksudkan menakuti rakyat — bila berbuat melawan kebijakan pemerintah bakal (dg mudah) dikirim ke penjara alias masuk bui.
Sy tak hendak menulis ikhwal perkara di atas dlm konteks politik kekuasaan. Tak pula mengupas scr ilmiah dg dukungan data. Tulisan seri ini lbh tepat sbg catatan ringan atau selayang pandang. Menuliskan apa yg sy ketahui, sambil mengolah memori sebisa mungkin. Pun pertimbangan ruang penulisan dan ragam peminat bacaan di jalur darurat facebook.
Pola pembangunan “segi empat” di atas, tak jarang menjadi kendala bg pengembangan kota sejalan perkembangan zaman dan kekinian. Tak jarang pula melambatkan program pembangunan, krn pertimbangan bs ditunda. Itu pula yg dialami Kota Bandung. Bangunan penjara Banceuy hrs digeser ke lokasi lain, krn kebutuhan pengembangan kawasan komersial yg kian dibutuhkan publik. Tp ada catatan sejarah yg tak bs diabaikan, yakni ruang tahanan (sel) Ir. Soekarno yg kemudian menjadi Presiden Indonesia di awal kemerdekaan. Akibatnya terpaksa dikorbankan demi pendirian pusat pertokoan Bandung Permai di masa kekuasaan walikota R. Husein Wangsaatmadja (1978-1983). Sepenggal bangunan eks sel tahanan Soekarno disisakan, yg nyaris luput dr pandangan khalayak yg lewat di sisinya. Makna historis yg terkandung, bagai menguap tak berbekas. Kiranya perlu sentuhan baru, agar monumen sejarah itu hadir kembali ke permukaan.
Hal lain, sentralisasi kegiatan pun berlanjut dan berkembang di seputar Mesjid Agung — khususnya ruas Jl. Dalem Kaum, berupa jajaran toko hingga pusat perbelanjaan (shopping center) yg membuat ‘sareukseuk’ kawasan mesjid. Zaman berkembang lbh cepat dr dugaan semula. Betapa Kota Bandung pada awalnya dirancang bukan u/ kota niaga, melainkan “persinggahan” — mengingat hawa sejuk dg semilir udara pegunungan.
Lain dulu, lain sekarang. Jalan2 yg umumnya tak cukup lebar dan panjang, kini menjadi sesak oleh lalulintas kendaraan. Bersamaan itu, kian sesak pula penghuninya. Upaya, meski tak sederas harapan — telah dan akan dilakukan. Adalah peran dan tgjwb walikota dlm setiap periode jabatan.
***
KONON jalan Lingkar Selatan sdh dirancang sejak 1955. Tp faktanya baru direalisasi 20 th kemudian hingga dioperasikan scr keseluruhan pd 1985. Lingkar Selatan itu (kini) merupakan rangkaian atau menyambung, meliputi Jl. Laswi di timur (simpang Jl. Ahmad Yani), Jl. Pelajar Pejuang 45, Jl. BKR hingga Jl. Peta di barat (menyambung dg Jl. Jamika hingga mentok Jl. Sudirman).
Bila ada jalan Lingkar Selatan, tentu direncanakan bakal ada Lingkar Utara. Pd 1980, berita ttg rencana itu pernah bergulir — namun hingga kini tak pernah ada tanda2 direalisasikan. Bisa jadi rancangan Lingkar Selatan — kadung didahului rumah2 penduduk yg tak mudah pembebasannya. Akibatnya kawasan utara, tak terkecuali kerap dilanda kepadatan lalulintas — terlebih adanya pengembangan tujuan wisata belanja di kawasan itu, termasuk jalur wisata Lembang.
Berikutnya, Bandung bukan cuma kota hunian, kota pendidikan, kota konferensi, kota budaya hingga kota niaga — tp juga tak terhindarkan sbg kota tujuan wisata. Wisata belanja, sekaligus wisata kuliner. Karuan Walikota Bandung, Ridwan Kamil dg bangga meluncurkan bus wisata (city tour) dg atap terbuka, bernama Bandros — yg diminati tak hanya wisatawan, tp juga warganya.
Beban jalan2 Kota Bandung sedikit terurai, stl dibangun jalan “by pass” dr ujung Bundaran Otje di barat hingga bundaran Cibiru di barat yg berdampingan batas kota. Jalur cukup panjang yg dinamai Jl. Soekarno-Hatta (SH) itu mulai berproses pembangunannya pd 1970an. Di jalur yg masih sepi itulah, sejatinya diharapkan adanya pemindahan kantor2 pemerintahan (baca: dinas). Sejumlah bangunan perkantoran sbg bagian Pemprov Jabar didirikan, termasuk Markas Polda Jabar di area yg lbh luas dibanding seblmnya di Jl. Braga (kini kantor BJB Syariah -pen). Juga kantor Samsat yg menjadi sangat lega saat itu dibanding seblmnya di Wisma Langlangbuana, Jl. Karapitan. Di sepanjang Jl. SH, khususnya bagian timur — kini sdh berkembang pesat.
Sy punya pengalaman antisipasi, saat merasa perlu memiliki rumah dg fasilitas KPR BTN pd 1985. Banyak teman sejawat memilih kawasan Jl. Kopo, khususnya Cibolerang dan Sukamenak. Namun tanda2 kepadatan lalulintas di kawasan itu sdh mulai terasa dan minimnya jalan alternatif saat itu, mengingat sbg akses ke dan dari Soreang yg masuk wilayah Kab. Bandung. Sy berbeda dan memilih permukiman baru Riung Bandung dg akses utama Jl. SH bagian timur yg masih lengang. Tak jarang pemandangan gembala kerbau, krn masih banyak lahan terbuka hijau. Meski dari tahun ke tahun, berlangsung pengembangan permukiman2 baru dan kawasan komersial — setdknya berlangsung belakangan dibanding kawasan Jl. Kopo.
Sy hendak berkisah serbalintas ikhwal perjalanan beban Kota Bandung, khususnya beban jalan — berupa kepadatan lalulintas kendaraan di banyak ruas jalan, yg kini cenderung (kian) merata. Gambaran umum lokasi fabrik2 di pinggir, bahkan luar kota — kini sdh terdesak permukiman baru yg mengesankan tak lagi seperti di pinggir kota. Picu lainnya adalah maraknya bisnis Factory Outlet di seputar Jl. RE Martadinata yg melebar ke kawasan permukiman elit Jl. Ir. H. Juanda (Dago). Bahkan di ruas pendek Jl. Setiabudi (bawah). Betapa tak cukup tanggung rencana pengembangan aktivitas kota dg sistem desentralisasi. Mengapa pula tdk diarahkan ke pinggir kota yg berdekatan dg akses masuk Kota Bdg, seperti Jl. SH bagian timur yg masa itu butuh pengembangan? Banyak hal, serba kadung sbg akibat kebijakan di balik meja dan berantai. Hal ideal dilakukan u/ dua pasar induk, masing2 khusus buah2an di kawasan Gedebage di timur dan khusus sembilan bahan pokok (sembako) di daerah Caringin di barat, keduanya di ruas Jl. SH.
Lokasi dua terminal bus antarkota pun menyumbang masalah kepadatan lalin di sekitarnya. Terminal Leuwipanjang di timur dan Terminal Cicaheum di barat. Lokasinya di “tengah” kota, seiring perkembangannya. Khususnya Terminal Leuwipanjang yg diproses di era walikota Ateng Wahyudi. Yg menarik, pembangunannya digarap pd 10 th kemudian, stl perencanaan. Karuan slm kurun itu, kawasan Leuwipanjang sdh kadung berkembang — shg saat dioperasikan, sdh jd “bottle neck”. Perlu sgr dilakukan pemindahan ke dekat pintu tol Pasirkoja, hingga tak ada lg gerakan bus antarkota di dlm kota. Keluar dr terminal, lgs masuk tol. Pun terminal Cicaheum ke Gedebage, mendekati akses tol Km 149 yg tengah dibangun. Terlbh bila didesain sbg terminal terpadu. Betapa banyak “PR” Kota Bdg, selain kebutuhan sejumlah ‘jalan layang’ yg bs ‘mengurai’ beban jalan.
Selama ini, konon Pemkot kurang optimalkan ahli tata-kota dr ITB — yg justru banyak digandeng kota2 besar lain, termasuk Surabaya. Berbarengan itu, muncul ironi soal lokasi SPBU. Kita ketahui, sejumlah SPBU di tengah kita di”delete”. Antara lain dua tempat di Simpang Lima, Jl. Asia Afrika, Jl. RE Martadinata (depan Taman Pramuka) dan di simpang Jl. Ahmad Yani/Laswi, Taman Jl. Sukajadi. Berikutnya justru muncul SPBU di Jl. Naripan, dan Jl. RE Martadinata (depan Taruna Bakti). Keduanya justru di tengah keramaian kota. Gimana nih? Koq, bs terjadi?! Bukan cuma beban jalan bertambah, sekaligus sarat polusi. Baiknya dilakukan koreksi perijinan, dan jadikan ruang terbuka hijau di tempat2 SPBU itu.
***
Akses ke Kota Bandung semakin mudah dg beroperasinya tol Padaleunyi (Padalarang-Cileunyi). Cukup melalui gerbang Pasteur, terlebih adanya “fly over” Pasupati (Pasteur – Jl.. Surapati). Rencana lanjutan, entah kapan, jalan layang itu akan disambung langsung dr gerbang tol dan lainnya ditambah bentangannya hingga Cileunyi — sementara di ruas depan Gd. Sate/Monomen Perjuangan Jabar berupa “under pass” ( jalan di bawah permukaan lahan -pen).
Bila seblm 2005, kebanyakan warga Jakarta jalan2 akhir pekan ke kawasan Puncak — maka sejak dibangun jalan tol Cipularang, pilihan bergeser ke Kota Bandung dg pertimbangan waktu lebih pendek atau cukup sekitar 2-3 jam saja. Tol Cipularang yg kejar tayang untuk mendukung perayaan Separuh Abad KAA di Bandung tahun 2005, tentu saja punya andil bertambahnya beban jalan di Kota Bandung, utamanya pd setiap akhir pekan. Pemberlakuan “Four in One” di ruas Jl. Djundjunan (Terusan Pasteur), rupanya tdk cukup efektif menekan beban itu.
Beban itu bagai tak mudah dihindari, bersamaan dg berkembangnya Bandung sbg destinasi wisata. Geliat ekonomi warga yg memanfaatkan ‘moment’ berkelanjutan itu, berlangsung terus. Karuan, warga semakin paham untuk menghindari ruas Jl. Cihampelas, Jl. REMartadinata, Jl. Setiabudi dan jl. Sukajadi arah Lembang serta kawasan Dago. Menunda keperluan di rumah, kecuali darurat. Biarlah setiap akhir pekan, kawasan2 itu jd milik para pelancong dr luar kota. Barangkali, itu yg terbaik. Apa hendak dikata…(bersambung).
Buahbatu, 141016.