OLEH IMAM WAHYUDI
SEJAK kurun 1970-1980an, kalangan muda Kota Bandung sdh dikenal kreatif dan inovatif. Utamanya dlm bidang musik. Gemanya mengindonesia. Banyak hal yang beraroma Bandung, senantiasa jadi “trend” anak muda masa itu.
Gedung Merdeka di pusat kota jd saksi bisu bagi ‘keunggulan’ komunitas muda Kota Bandung. Bukan cuma memenuhi kebutuhan arena acara perpisahan siswa sekolah pd setiap akhir tahun ajaran. Sederet seniman dan musisi kaliber, pernah unjuk prestasi di gedung bersejarah KAA 1955 ini. Di antaranya grup band The Peels, Giant Step (Benny Soebardja dkk), penyair “Si Burung Merak” WS Rendra lewat pergelaran “Madtodon & Burung Kondor”, karya seni pentas yg dinilai “mengganggu” pemerintah orba –awal 1973, hingga “Rock Opera Ken Arok” karya Harry Roesli & His Gang, 12 April 1975.
Hanya Gd Merdeka yg mampu menampung banyak penonton, termasuk balkon. Sebut saja sbg representatif, dg sistem akustik yg memadai u/ mendukung sistem suara (sound system) dan cahaya. Pun keberadaan panggung yg lega, dg latar lebar. Karuan karya pentas Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) Prambors yg sohor masa itu, pernah digelar di gedung megah ini. Seperti diketahui, dr pentas LCLR ini pernah lahir bakal bintang, Vina Panduwinata yg di kemudian hari jd artis penyanyi. Pun lahirnya lagu “Sepercik Air” yg dipopulerkan Dedy Stanzah, yg melegenda itu. Masa itu grup musik “the big band” The Rollies dg vokalis ternama Bangun Sugito (Gito) menjadi bagian perhatian utama akan prestasi musisi Bdg.
Setiap hari, slm sedikitnya tiga tahun (1972-1974) — sy selalu melewati Gd Merdeka — menuju dan pulang sekolah di SMEAN-1 Bandung, Jl. Wastukancana. Berjalan kaki dr rumah kami di kawasan Buahbatu. Karuan memunculkan inspirasi u/ bs menonton, saat ada pergelaran musik. Sy sdh siap di balik pintu samping Gd Merdeka, selepas waktu maghrib — seblm ada penjagaan ketat. Biasanya, sy berhasil menyelinap dan selanjutnya “bersembunyi” di ruang toilet, di sisi belakang panggung — hingga acara dimulai, baru masuk arena u/ ikut menonton gratis. Hehehe..
Bersamaan dg peran Gedung Merdeka yg mendukung kelangsungan kegiatan musik dan seni pentas, pd kurun 1970an marak kreasi musik disko dg gerakan tarian yg disebut ‘ajojing’. Sejumlah komunitas muda menawarkan jasa diskotik. Sebut saja nama Prea-Ex, Bazzalt, dan Cheep Monk (baca: Chipok Monyong). Setiap akhir pekan, kerap dilangsungkan acara “ajojing” di rumah besar atau di Bumi Sangkuriang, kawasan Ciumbuleuit, Bandung Utara. Ini kemudian, menginspirasi komunitas Radio OZ menyelenggarakan Lomba Disco & Tariannya. Berlanjut dg Lomba Dangdut & Jogetnya dg final di Stadion Siliwangi.
***
Memasuki tahun 1980an, Gedung Merdeka yg dikelola Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta — tidak lagi membolehkan digunakan u/ kegiatan pentas musik atau tidak disewakan kpd umum. Sementara harapan para seniman dan peminat musik panggung, masih tetap menggeliat. Tanpa arena yg representatif, tentu jd kendala utama.
Apa hendak dikata, satu2nya yg dimungkinkan bisa dimanfaatkan adalah “sport hall” di Jl. Saparua. Setidaknya didukung area parkir cukup luas. Tp ikhwal arena, bs dimaklumi hanya berupa tribun segi-4 panjang dan lantai sbg lapangan badminton. Setiap ada kegiatan pentas, tdk sertamerta bs langsung digunakan — selain hrs lbh dulu merombaknya, mulai dr membangun panggung yg perlu dilapis terpal hingga menggantung sejumlah bidang kain eks parashut terjunpayung — agar menghasilkan sistem akustik yg minimalis, yg dibutuhkan bg sebuah tampilan musik.
Hampir semua semua artis penyanyi dan grup musik ternama negeri ini yg ingin “manggung” di Kota Bandung, tak ada pilihan arena — selain “sport hall” tadi yg populer dg sebutan Gelora Saparua. Tak kuasa menyebutnya sbg Gelora Saparua yg merana, tp hrs tetap disapa. Sebut saja nama2 beken Nicky Astria, Vina Panduwinata, Superkid group band (Deddy Dores dkk), Rhapsodia, Hari Moekti, Pentas Musik Rakyat “Jack Daniels”, Pentas Musik Dapur Betawi, dll. Pun tradisi Festival Penyanyi Pop Indonesia yg digagas Himpunan Artis Penyanyi & Musisi Indonesia (Hapmi) lewat figur Dana Setia (alm) sbg ketuanya. Dari pentas ini lahir nama2 artis penyanyi, antara lain Dewi Yull, Ruth Sahanaya, dan Amir Faisal.
Bukan tanpa alasan, pd era 1980an — Kota Bandung kian nyata dijuluki sbg “Gudang Artis”. Lahir nama dan grup yg mencuat ke pentas nasional. Elfa’s Singer yg diramu musisi Elfa Secioria, Purwa Caraka, Armand “Gigi” Maulana, Hari Moekti, Nicky Astria, Nicky Ardila, Euis Darliah, kelompok komedian Padhyangan (gabungan komunitas mahasiswa Universitas Padjadjaran dan Universitas Parahyangan), Connie Dio dan Ruth Sahanaya adalah nama2 populer yg lahir dr Bandung. Namun, seiring dg itu — mereka umumnya mengembangkan prestasi dan profesi ke Jakarta — mengingat Kota Bandung dirasakan miskin sarana.
Hanya beberapa saja yg bertahan di Bdg, dg figur “musisi bengal” Harry Roesli, yg sejatinya tak mampu menyembunyikan rasa prihatin thd kondisi Kota Bandung sbg Gudang Artis, tp tak punya fasilitas gedung pertunjukan yg representatif dlm sistem akustik dan kapasitas. Blm lagi, para pegiat musik panggung pun “tercekik” dg pengenaan pajak tontonan setara 33% dr harga jual tiket, yg diberlakukan Pemkot Bandung. Ironisnya harapan hadirnya gedung pergelaran musik di Bdg, tak pernah jd perhatian u/ segera dibangun. Sy pernah menulis di HU “Pikiran Rakyat”, mempertanyakan dan mengharapkan — agar pungutan pajak tontonan sehrsnya dikembalikan kpd masyarakat penonton dlm bentuk gedung pertunjukan.
Perhatian Harry Roesli bergulir gerakan moral. Dimulai dg Pergelaran Musik Akustik “Monticelli” yg digagas Dini Swarma (alm), gitaris akustik hingga puncaknya digagas Harry Roesli lewat Pergelaran Musik “Sikat Gigi” di Gelora Saparua pd 1982. Harry mengundang Guruh Soekarnoputra yg sukses dg karya Swara Mahardhikka mendeklarasikan gerakan moral — menyerahkan scr simbolis enam batang bata-merah kpd Walikota Bandung, Husein Wangsaatmadja — sbg ekspresi harapan dibangunnya gedung pertunjukan (baca: pengganti Gd Merdeka) di Kota Bandung.
Gerakan moral Harry Roesli mendpt respons positif. Walikota Husein merealisasikan di bagian kompleks pertokoan Banceuy Permai yg dibangun di atas lahan eks Penjara Banceuy. Tp rupanya dinilai tak cukup representatif, utamanya tdk berdiri sendiri — sesuai harapan umumnya — hingga tak pernah dimanfaatkan u/ kegiatan pentas musik. Gelora Saparua jd pilihan u/ tetap dimanfaatkan , seblm akhirnya dibangun Sabuga ITB di lebak Siliwangi, Bandung. Sejauh ini Pemkot Bandung blm mampu menjawab kebutuhan sebuah gedung seni yg representatif dlm sistem akustik dan kapasitas. Entah kapan..?!
***
ERA seblm kehadiran Sabuga yg notabene milik ITB, stagnasi pergelaran musik berlangsung. Ditandai dg pentas spektakular kelompok musisi sohor, URIAH HEEP di Stadion Siliwangi pdun 1984 — sekaligus prestasi komunitas muda Bdg yg mampu menghadirkan grup musik kaliber dunia, yg populer dg hit-nya antara lain tembang “July Morning”.
Trend hiburan musik di Kota Bandung pun bergeser ke diskotik mulai 1985. Hiburan diskotik dipelopori Xanadu di Jl. Setiabudi (bawah), dg puncaknya kehadiran Studio East Entertainment Club di Jl. Cihampelas pd 1986. Dg dayatarik “lighting system” (tata cahaya) dan kepiawaian “disc jockey” (DJ), Studio East menawarkan kapasitas yg lega hingga memungkinkan dilakukan pertunjukan musik pentas. Sejumlah diskotik menengah pun berdiri di sejumlah tempat lainnya. Sejak itu, kegiatan DJ berkembang menjadi profesi dg dukungan hadirnya kursus pelatihan untuk itu.
Menjamurnya diskotik ditandai dg kehadiran “house music” pd 1990an. Lambat, tp pasti hingga akhirnya redup — tak kecuali klab malam lainnya. Pergeseran mengarah ke sanggar hiburan versi dangdut, hingga era kafe nonmusik mau pun dg “live musik” dan karaoke hingga kini. Berkembang alami, dari semula hiburan karaoke yg eksklusif dan primer — hingga kini menjamur karaoke keluarga, yg kian terjangkau dan marak. Begitulah…(bersambung)
Buahbatu, 141016