Home JabarKini Senandung Kota Bandung (4): Bandung Kota Kembang Aksi Raih Kembali Hingga...

Senandung Kota Bandung (4): Bandung Kota Kembang Aksi Raih Kembali Hingga Nanti

1777
0

OLEH Imam Wahyudi

SEJUMLAH fB-er mensupport tulisan berseri ini. Konon tidak semata apresiasi, namun juga saran dan kritisi. Begitulah, saya coba membangun keseimbangan. Bila melulu ‘memuji’, tentu khalayak bakal berpraduga ini-itu.

Secara pribadi, saya tak kenal dekat denga Ridwan Kamil selaku Walikota. Secara perjumpaan, saya baru empat kali dan tidak secara spesifik saling-kenal, saling-sapa.

Pertama kali di cafe teras Bandara Husein Sastranegara, saat beliau ingin menyapa Hatta Rajasa, yang hendak kembali ke Jakarta — menjelang petang — dalam agenda Pilpres 2014 di Bandung. Berikutnya, saat mengantar Walikota Bogor — Bima Arya, bertemu di kompleks Pendopo. Kemudian di ruang utama pendopo, saat mengantar kunjungan kerja kawan-kawan Komisi-I DPR RI yang dipimpin Tantowi Yahya dan Hanafi Rais. Terakhir di kompleks pendidikan Telkom, Jl. Gegerkalong, dalam sebuah seminar nasional.

Seri kali ini, sy ingin memadukan aspek “Bandung Heurin ku Tangtung” dan semangat di balik tampilan taman-taman tematik. Kota Bdg yang terasa kian sesak penghuni, permukiman dan ragam fasilitas serta ruang publik — berkonsekuensi “tumpah” di jalan2 utama. Saya tak gamblang menyebutnya kerap terjadi kemacetan lalulintas kendaraan, tapi lebih pada “kepadatan” sebagai akibat. Bisa pula, berkolerasi dengan geliat penataan wajah kota yang kian hari — mengundang minat khalayak untuk datang berkunjung. Warga pun kian kerap meluangkan waktu berbaur.

Kondisi tak sedap itu ditandai dengan sistem transportasi angkutan kota, yang belum tertata baik — dan menjadi bagian secara menyeluruh sebagai bagian dari “tuanrumah” yang senantiasa “someah ka semah” (santun terhadap ‘tamu’) — yang notabene warga sebagai pengguna. Dimaklumi, pernah berlangsung dan sudah jadi rahasia umum berlangsung dan berlanjutnya “booming” trayek. Pihak ‘dealer’ mobil pick-up dengan orientasi bentuk lewat proses pembuatan karoseri angkot “bermain mata” dengan pihak Pemkot yang berwewenang mengeluarkan dan atau menerbitkan ijin operasional (trayek). Karuan di sejumlah kawasan permukiman (baca: kompleks) sertamerta dilewati atau menjadi jalur angkot. Semata u/ membedakan trayek, termasuk jalur yg dilalui — dg trayek yang sdh ada sebelumnya.

Di satu sisi, penambahan trayek dimaksudkan peningkatan layanan pengguna — di sisi lain menimbulkan “penumpukan” pada sejumlah jalan yg menjadi “pertemuan” (persinggungan) dari trayek-trayek  yang berbeda. Bahkan terjadi di sejumlah jalan protokol, yang sebaiknya “steril” dari lalulintas angkot. Di jalur ini, sejatinya dilayani bus kota atau taksi argo. Pada situasi demikian, kepadatan lalulintas kerap tak terhindarkan. Apa hendak dikata, angkot-angkot itu sebagai picunya.

Hal lain, akibat trayek yang menembus kawasan permukiman mengakibat tergerusnya para pengayuh jasa angkutan becak. Hemat saya, trayek angkot itu cukup melalui jalan-jalan utama — sementara “point to point” di kawasan permukiman, biarlah menjadi milik jasa becak. Karuan “lahan” mereka terganggu, hingga kian lama bagai terdesak. Padahal pemkot berkewajiban menjamin “hak hidup”. Terhadap mereka, tidaklah pas diberlakukan “pasar bebas”.

Dengan trayek yang merambah permukiman, secara ekonomi — memang diharapkan pengguna angkot, karena memungkinkan seolah bisa diantar hingga depan rumahnya.

Angkot dengan ijin trayek, rupanya punya nilai ekonomi yang lebih dari harga angkot per unitnya, meski dlm kondisi bekas. Semisal, satu unit angkot berharga pasaran Rp 100 jt — maka dengan trayek tertentu, bisa terdongkrak jadi Rp 150 jt. Itulah sebabnya diperlukan kebijakan yang mampu merasionalisasi jumlah angkot mau pun trayeknya. Tanpa evaluasi menuju pembenahan seperti itu, menjadi tak mudah upaya pemkot untuk mengubah ‘habit’ pengguna jasa transportasi berpindah ke bus kota. Tak kecuali bagi warga pemilik mobil.
***
Ikhwal kehadiran taman tematik di kian banyak lokasi, pada hakikatnya gerakan revitalisasi ruang terbuka hijau — yang secara kuantitas belum cukup ideal. Hemat saya bisa jadi ‘moment’ bagi kelangsungan dan tradisi “Kota Kembang” yang sudah melekat di benak warga Kota Bdg dan kadung populer sejak lama.

Mengapa “tagline” kota ini, seolah harus berubah pada setiap periode jabatan walikota. Entah sudah berapa kali. Alasan sebagai pembeda dengan periode sebelumnya, tidaklah substantif. Akibatnya, bisa terjebak pada formalitas belaka — yang di tingkat implementasi menjauh dari tujuan.

Seingat saya, Walikota Husein Wangsaatmadja pernah memopulerkan sebutan Bandung  Atlas. Adalah singkatan, yang kalau tak salah — kepanjangannya adalah “aman, tertib, lancar dan sehat” (kira2 begitulah). Sebutan Atlas, juga pernah dipakai Kota Semarang.  Di periode lain, berganti Bandung Berhiber, Bandung Bermartabat dan entah apa lagi, yang umumnya berupa singkatan. Bagaimana mungkin, warga dan khalayak harus memaknai sebuah “tagline” dengan lebih dulu mencari tahu kepanjangannya.

Hemat saya, “tagline” setidaknya sbg model reklame dan atau pesan — mestinya langsung tertangkap arti dan maknanya, dlm sekali ucapan.  Bila kali ini hadir sebutan Bandung Juara, moga lebih pada ekspektasi semata dlm periodisasi kepemimpinan Kota Bandung. Selebihnya, mengapa tidak — kita gelorakan lagi Bandung sbg Kota Kembang. Mulai hari ini dan selamanya. Rasanya semangat dan kebanggaan warga, perlu kembali ditumbuhkembangkan. Pada gilirannya, kualitas partisipasi warga kian tampil.
Ya, Bandung Kota Kembang.

Buahbatu, 13 Okt 2016