OLEH IMAM WAHYUDI
TROTOAR, taman tematik, dan Ridwan Kamil itu bersahabat. Bergandeng tangan menata wajah kota menjadi tampak cerah dan menabur sumringah.
Tampak sederhana, setelah lensa bicara. Memang, sederhana. Tapi ikhwal estetika, tidaklah sederhana — hingga mampu merangkum selera massa. Hari demi hari di paruh masa jabatan perdana Walikota Bandung kali ini, kian banyak warga membincangkan bab taman yang sejatinya sederhana itu.
Di kalangan pecinta pedestrian, obrolan berlanjut soal trotoar yang sertamerta jadi “etalase” kota, yang tengah merenda asa sebagai metropolitan. Sejumlah jalan utama dilatari tampilan trotoar yang terkesan eksotis dr sekadar “geulis”, bak teras lega di rumah-garapan modern para elit kota. Tidak cuma dua bidang garapan itu. Perkara layanan publik, juga digarap dengan mengoptimalkan piranti teknologi informasi, melalui sejumlah aplikasi “online”. Hanya yang blm pernah terealisasi adalah “online” ikhwal transaksi pajak?! Hehe..
Kisah olah trotoar dan taman tematik ini, membuat sosok Ridwan Kamil kadung melambung. Media publik rajin merilis, berbagai ruang jagat nusantara kerap menyapa. Tampilan trotoar yg tak lagi kusam, dapat dilihat dan dinikmati di sepanjang Jl. Asia Afrika — khususnya ruas simpang Jl. Tamblong ke arah lokasi Gedung Merdeka yang bersejarah itu.
Moment puncak peringatan 60 Th Konferensi Asia Afrika (KAA) yang dihadiri hampir semua utusan dan delegasi negara-negara peserta KAA 1955, dioptimalkan bagi pembenahan dan penataan trotoar dimaksud.
Bukan sekadar trotoar umumnya dan sebelumnya. Kali ini menggunakan bahan (lantai) granit denga paduan keramik berkelas. Mirip teras rumah mewah pd umumnya. Di antara pot besar dengan ragam tanaman hias, ditempatkan bangku-bangku taman dengan sandaran yang memadai u/ duduk berdua dan sekadar bercengkerama. Di sisi luar trotoar, dipercantik onggokan batu alam berbentuk bola besar dengan diameter sekitar 60 cm. Di setiap bola batu yg ‘mengapit’ ruas Jl. AA ini terukir dg warna emas nama negara peserta KAA Bandung 1955.
Seperti diketahui, tercatat 29 negara ikut KAA 1955. Adalah Jepang, RRCina, Saudi Arabia, Iran, Iran, Kamboja, Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Mesir, Nepal, Pakistan, Afghanistan, Ethiopia, India, Filipina, Birma, Srilanka, Ghana, Sudan, Suriah, Thailand, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Yaman, Yordania, dan tuanrumah Indonesia.
Andai saja, nama yang terukir di bola batu seperti adanya di atas — rasanya lebih mengIndonesia. Bukankah kita sebagai tuanrumah dan bernama Indonesia?! Nama yang terukir, justru menggunakan bhs Inggris. Semisal negara Mesir, tertulis (terukir) EGYPT. Serupa itu pula nama2 negara ditulis (dicetak) di tugu Simpang Lima.
Selebihnya, saya tdk beroleh informasi — apakah nama2 negara itu meliputi 29 negara peserta KAA 1955 atau negara2 yang mengirimkan delegasi pada peringatan 60 Th KAA di Bandung, April 2015? Bila yang dimaksud adalah delegasi peringatan, tentu jumlahnya lebih dr 29 nama negara.
Penulisan nama negara dengan bahasa Inggris, sangat mungkin dimaksudkan untuk mudah terbaca (dimengerti) para delegasi negara dan tamu undangan, juga pers mancanegara — yang hadir pada peringatan 60 Th KAA. Namun bersamaan dengan itu, tradisi dan kebanggaan berbahasa Indonesia seketika sirna. Tak semua warga mampu membaca kata Egypt sebagai negara Mesir. Tidakkah lebih baik ditulis dengan bahasa Indonesia dan di bawahnya dengan bahasa Inggris. Dengan begitu, tak mengurangi maksud dan tujuan. Dan itu bisa dilakukan atau disusulkan kemudian.
***
TAMAN Tematik yang digagas Ridwan Kamil, patut diacungi jempol. Tak kurang dr 15 taman tematik dihasilkan. Taman yang semula sebagian besar berupa lahan terbuka di tengah persimpangan jalan, ditata demikian rupa dengan model “tematik”.
Taman-taman itu kemudian diperkenalkan sebagai Taman Lansia, Pasupati, Lansia, Vanda, Foto, Gesit, Pustaka Bunga, Jomblo, Skate Board, Film, Musik Centrum, Pet Park, Dewi Sartika, Media, Balaikota, Cikapundung Riverspot, Cibeunying dan Teras Cikapundung. Warga, tentu berharap bab “tematik” itu dpt terealisasikan scr berkala sesuai namanya. Kecuali beberapa taman, yang sudah berfungsi sesuai temanya, antara lain Taman Lansia dan Pet Park. Sementara taman2 tematik lainnya, masih sebatas penamaan dan kecukupan fasilitasnya.
Semisal Taman Musik Centrum, baiknya difasilitasi pergelaran atau parade musik — katakanlah setiap akhir pekan atau sekali dlm sebulan. Pun di Taman Media, Jl. Malabar atau Jl. Palasari — dimungkinkan kegiatan pelatihan jurnalistik. Bahkan, bisa dibuat ‘calendar event’ di setiap taman tematik — sehingga mampu ‘menggiring’ lebih spesifik dari warga, sesuai minatnya. Bersamaan itu dapat diharapkan terjadinya sebaran aktivitas warga.
Bagi lembaga pemerintah, dalam hal ini Pemkot Bdg — memang tak mudah merealisasikan gagasan tersebut. Pasalnya, berpulang pada kebijakan alokasi dalam APBD, sekaligus kemampuan kas daerah. Tapi bukan tidak mungkin u/ dilakukan. Salah satu upaya, dengan cara merangkul komunitas tertentu untuk bersinergi secara swadaya. Bila tidak, cepat atau lambat — makna “tematik” itu akan jadi sekadar papan nama. (bersambung).
Kudus, 121016/pk 03.15