Home Bandung Kisah YPK, Gedung Tempat Seniman, Budayawan, dan Insan Pers

Kisah YPK, Gedung Tempat Seniman, Budayawan, dan Insan Pers

1767
0
Gedung YPK jalan Naripan Bandung
JABARSATU – Semua tahu dan kenal Suyatna Anirun. Ia dikenal sebagai Suhu Teater Indonesia terutama di bidang keaktoran. Sebutan yang muncul karena dedikasinya yang tak pernah putus pada teater Indonesia. Lahir di Bandung 20 Juli 1936 dan meninggal 11 Januari 2002. Bergaul dengan dunia drama atau teater sejak masih menjadi pelajar di SLA, dan sejak itu teater tidak pernah lepas dari kehidupannya. Pada 30 Oktober 1958, ketika kuliah di Departemen Seni Rupa ITB mendirikan Studiklub Teater Bandung, bersama-sama dengan Jim (Lim) Adilimas (yang sejak tahun 1967 menjadi aktor di Paris, Prancis), Sutardjo Wiramihardja, Tien Sri Kartini, Soeharmono Tjitrosoewono, Gigo BS, dan Adrin Kahar. Sejak itu setiap tahun disutradarainya sekitar empat pergelaran teater (drama modern). Hampir semua drama terkenal yang merupakan naskah standar, baik nasional maupun internasional, pernah disutradarainya. Naskah Indonesia yang pernah disutradarainya antara lain, karya-karya: Saini KM, Dtuy T. Sontani, Kirjomulyo, Achdiat K. Miharja, Ajip Rosidi. Sedang naskah dunia yang pernah disutradarainya antara lain karya Anton Chekov, WB Yeat, Robert Anderson, Archikola Gogol, Ben Johnson, Yevgency Schawwart, Moliere, Bertolt Brecht, Hendri Von Kliest, Frederich Durrenmatt, Sophokles, Goethe, Albert Camus, Girradoux, Shakespeare, Schiller.

Selain menyutradarai, ia juga bermain dalam pergelaran yang disutradarainya, terutama pergelaran dalam kurun waktu 1958 sampai 1980-an. Pemainnya dalam pergelaran-pergelaran itu selalu mendapat pujian dari para penonton, maupun para kritisi, dalam peran apapun. Ketika bermain sebagai Raja Lear, dalam pergelaran King Lear, karya William Shakespear, yang juga disutradarainya sendiri merupakan karya paling monumental. Pada usianya yang ke 50 (Mei 1987) dia tampil sangat memikat, sehingga Arifin C. Noer menulis Suyatna tampil dalam setiap adegan dengan daya pikat yang sangat kuat. Dan puncak keseniannya tampil pada saat Lear berada pada puncak kegilaannya (Tempo, 1987).

Pergulatannya dengan Teater Indonesia tidak hanya terbatas pada penyutradaraan dan menjadi aktor, tetapi juga di bidang penerjemahan dan penyaduran karya-karya dunia. Karya terjemahannya adalah Arwah-Arwah (WB Yeats/1958), Pinangan (Anton Chekov/1958), Paman Vanya (Anton CheChekov/1961), Musa dan Fir’aun (Chrisoper Fry/1967), dan Karto Loewak(Ben Johnson/1982). Karya sadurannya antara lain Di Pantai Baile (WE Yeats),Burung Camar (Anton Chekov), Mawar Biru (Tenessee Williams), Jangan Biarkan Pagi Datang (Tenesse Williams), Tembang Perkasa (Joseph O’Connor), Tabib Tetiron (Malire), Pengadilan Anak Angkat (Bertolt Brecht), Jambangan yang Pecah (Hendrik von Kleis), Prabu Randumulus(Durrenmat), dan Kuda Perang (Goethe).

Buku yang pernah ditulisnya antara lain Catatan Perjalanan I, II, III (Buku Memoir yang diterbitkan terbatas), Hakikat Seni Peran (1979, Proyek Pengembangan Kurikulum STSI Bandung), Ikhtisar Teknik Penyutradaraan Teater Modern (1995, Proyek Pengembangan Kurikulum STSI Bandung),Pengantar Kepada Seni Peran (1979, Proyek Pengembangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat), Bagi Masa Depan Teater Indonesia (1983, PT. Granesia Bandung), Oeidipus dan Sang Pendekar (1987, Penerbitan Terbatas), Teater Untuk Dilakoni (1993, diterbitkan dalam rangka ulang tahun STB ke-35) dan Menjadi Aktor (1998). Penghargaan yang pernah diperoleh: 1993 menerima Anugerah Seni untuk Bidang Teater dari Menteri P & K RI. Ia juga dikenal di dunia jurnalistik, sejak 1974 menjadi karyawan redaksi harian umum Pikiran Rakyat. 1990-1992 mengasuh Ruang Kebudayaan harian umum Bandung Pos. 1992-1994 Pengasuh Mitra Budaya, Ruang Budaya Tabloid Mitra Desa. Mengasuh Studiklub Teater Bandung.

encyclopedia/83a9eeaff4bd321709489c53a0c0a20d

Dalam catatan ini saya hanya ingin membuka tabir bahwa iPada periode 1950-1980, Gedung YPK pernah jadi ajang para budayawan Bandung seperti seniman Teater Jim Liem (Jim Adilimas), Suyatna Anirun, bersama anggota Studiklub Teater Bandung (STB); sastrawan Ajip Rosidi, Rustandi Kartakusumah, Rahmatullah Ading Affandie (RAF), bersama seniman lainnya. Begitu pula bagian bangunan utama pernah dipakai sekretariat Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS).

Status Gedung ini sekarang adalah milik negara, tapi hak penghunian adalah YPK. Sejak ditetapkan sebagai gedung kesenian pada 1949, gedung ini banyak menelurkan para seniman berprestasi. Tidak sedikit seniman ‘berumah’ di YPK menunjukkan prestasi, seperti Bing Slamet, Upit Sarimanah, Ade Kosasih, Asep Sunandar, dan lainnya. Tempat ini memang biasa digunakan juga untuk ajang Binojakrama padalangan di Bandung. Pembenahan demi pembenahan dilakukan pada gedung historis ini. Maklum gedung ini sudah cukup tua. Tahun 1976 penataan kembali ditingkatkan, secara bertahap dengan dana seadanya pengelola tak mau gedung ini terbengkalai.

Pada perkembangan selanjutnya, Gedung YPK juga dijadikan alamat sekretariat beberapa paguyuban seni dan budaya, salah satunya Caraka Sundanologi. Gedung YPK kini difungsikan sebagai gedung kesenian. sumber www.voiceofbandung.com/