Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menuding pemerintah tidak transparan dalam menegakkan hukum. Indikatornya, hingga kini pemerintah melalui Kejaksaan Agung tidak pernah mengumumkan identitas 16 orang yang akan dieksekusi mati tahap tiga sesuai lebaran.
“Sepertinya pemerintah mengambil langkah senyap sampai eksekusi telah dilakukan,” ungkap Kepala Bidang Fair Trial LBH Jakarta Arif Maulana, Sabtu (09/07/2016).
Berdasarkan hal tersebut, lanjut Arif, LBH Jakarta melakukan penelusuran terhadap terpidana mati yang akan di eksekusi oleh pemerintah pada tahap tiga. Dari penelusuran yang dilakukan semuanya berkaitan dengan kasus narkotika. Tujuh dari 16 terpidana adalah warga negara Indonesia, sisanya 4 Warga Negara Tiongkok, 2 Warga Negara Zimbabwe, 2 Warga Negara Nigeria, dan 1 Warga Negara Afrika Selatan.
Dikatakan Arif, terkait upaya hukum 5 Terpidana mati tidak mengajukan upaya hukum dan berkekuatan hukum tetap di tingkat pertama Pengadilan Negeri, sedangkan yang lain mengajukan upaya hukum sampai Peninjauan Kembali tetapi ditolak, kecuali Terpidana Fredy Budiman sedang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sedang berlangsung sampai saat ini.
“LBH Jakarta menyayangkan sikap pemerintah yang menyembunyikan proses hukuman mati tahap ketiga ini, terkesan langkah diam-diam ini untuk
memuluskan dijalankannya eksekusi mati dan meredam protes dari masyarakat sipil,” cetus Arif.
Seperti diketahui, hukuman mati masih menjadi pro kontra di Indonesia. Ada beberapa alasan seharusnya pemerintah tidak memberlakukan hukuman mati dalam hukum positifnya.
Menurut dia, penggunaan pidana mati hanya sedikit atau bahkan tidak menimbulkan efek pencegahan atas para calon pelaku kriminal. Hukuman mati merugikan nilai-nilai kemanusiaan dengan menghapus kesempatan untuk mengoreksi potensi terjadinya kesalahan oleh si Hakim, dan menghilangkan kesempatan si pelaku untuk memperbaiki dirinya. Selanjutnya hukuman mati telah mendistorsi hakekat dari manusia sebagai individu yang bebas dan juga
hakekat dari sanksi pidana itu sendiri.
“Efek Jera yang selama ini menjadi argumen utama para pendukung hukuman mati terutama dalam kasus narkotika ternyata tidak terbukti,” sindir Arif.
Masih kata Arif, dari data Badan Narkotika Nasional jumlah pengguna narkotika pada 2008 mencapai 3,3 juta jiwa, angka tersebut dicatat akan bertambah sampai dengan 2015 menjadi 5,1 Juta jiwa, padahal mulai 2004 sampai dengan 2015 tidak kurang 21 terpidana yang berkaitan dengan narkotika di eksekusi oleh pemerintah.
Selanjutnya masih buruknya penegakan fair trial di Indonesia seperti akses bantuan hukum yang efektif, pembuktian yang masih berbasis berkas perkara, minimnya pengawasan jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis), self incrimination, sampai dengan rekayasa perkara dan kriminalisasi yang makin menyulitkan bagi tersangka atau terdakwa untuk memperoleh keadilan terhadap dirinya.
Kemudian, dengan terus melakukan hukuman mati pemerintah Indonesia mengancam perlindungan warga Negara Indonesia diluar negeri yang terancam dieksekusi mati. Tercatat hampir 300 orang WNI yang berada diluar negeri yang terancam hukuman mati.
“Dengan terus menjalankan hukuman mati, Indonesia akan kehilangan posisi tawar untuk menyelamatkan WNI yang
terancam hukuman mati diluar negeri,” ucapnya.
Terakhir, dalam perkembangan terkini menunjukkan bahwa sudah 101 negara yang menghapuskan hukuman mati dan 22 Negara telah berhenti melaksanakan hukuman mati. Dengan terus melaksanakan hukuman mati, Indonesia akan semakin berada dalam posisi yang dirugikan dalam pergaulan dunia internasional.
Lebih lanjut, Arif mengatakan pihaknya mendesak agar sikap pemerintah Indonesia yang menyembunyikan data terpidana mati tahap 3 adalah sebagai bentuk menyembunyikan informasi publik dan sebagai upaya memuluskan eksekusi tanpa hambatan. Pemerintah melakukan moratorium eksekusi hukuman mati, hal ini sejalan dengan agenda penghapusan hukuman mati dalam Rancangan KUHP yang sedang dibahas oleh DPR RI.
“Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati karena tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan yaitu memberikan efek jera kepada si pelaku dan memberikan kesempatan bagi pelaku untuk bertobat agar tidak mengulangi perbuatannya,” tandasnya. -RMN