JABARSATU – Bupati Purwakarta-Jawa Barat Dedi Mulyadi sebenarnya bisa dijadikan contoh konkret dari upaya revolusi mental yang digembar-gemborkan pemerintah sekarang ini. Lihat saja. Pada bulan Oktober ini, di perbatasan desa-desa di Kabupaten Purwakarta dipasang kamera-kamera pengintai (CCTV), untuk melihat apakah ada warga yang berusia di atas 17 tahun berpacaran di atas pukul 21.00 WIB.
Sejak Oktober ini, Pemerintah Kabupaten Purwakarta memang menerapkan aturan larangan berpacaran di atas pukul 21.00 WIB. “Ini adalah bagian dari peraturan bupati mengenai desa berbudaya agar warga Purwakarta kembali ke budaya Sunda yang sesungguhnya,” kata Dedi Mulyadi.
Kalau ada yang melanggar aturan tersebut, baik diketahui melalui kamera pengintai maupun oleh polisi yang sedang berpatroli, pelanggar itu akan diberi teguran tertulis. Jika sudah mendapat tiga kali teguran, pasangan itu masih juga melanggar, mereka akan dibawa ke balai musyarawah desa. “Nah di balai musyawarah desa atau balai budaya desa itu nanti dirumuskan kategori-kategorinya. Kan nanti ada kategori yang sudah siap menikah dan kategori yang belum siap menikah. Dan ada kategori yang kecelakaan menikah, gitu lo,” ungkap Dedi.
Dijelaskan Dedi, kategori kecelakaan menikah berarti ada aspek prosedur adat yang terlanggar, yakni berhubungan badan di luar pernikahan. “Kalau sudah melanggar prosedur adat, mereka wajib menikah,” tuturnya. Kalau pelanggar itu berkeras tidak ingin menikah, mereka akan dikeluarkan dari desa karena berarti sudah tidak bersedia mengikuti aturan yang berlaku di desa tersebut.
Menurut Dedi lagi, bagi pelanggar aturan yang belum berhubungan badan dapat dikenakan sanksi seperti kerja bakti atau membersihkan halaman.
Ia berharap, 183 desa yang ada di Purwakarta mengikuti peraturan itu, yang dapat disesuaikan dengan keadaan masing-masing desa sehingga peraturan tersebut menjadi seperangkat peraturan desa. Sampai Jumat (2/10) sudah ada sekitar 150 desa yang menyatakan akan mengikuti peraturan itu.
Sementara itu, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) sudah membuat anggaran baru terkait sosialisasi revolusi mental. Kemenko PMK menganggarkan sosialisasi revolusi mental di televisi sebesar Rp 97,8 miliar, sebagaimana tercantum dalam situs lpse.lkpp.go.id, Selasa (29/9).
Pada situs itu, Kemenko PMK, yang masih ditulis Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, sudah menggelar lelang untuk sosialisasi revolusi mental di televisi. Lelang itu berjudul “Pengadaan Jasa Sosialisasi Gerakan Nasional Revolusi Mental Melalui Media Televisi (TV) 2015”. Lelang dimulai pada 25 September lalu. Nilai pagu paketnya Rp 97.874.415.000, dengan Harga Perkiraan Sementara (HPS) Rp 96.754.397.394. Anggarannya berasal dari APBN 2015.
Memang, Kemenko PMK memang punya anggaran besar untuk sosialisasi revolusi mental. Totalnya mencapai Rp 200 miliar. Berarti, program sosialisasi di televisi ini menghabiskan hampir setengah dari total anggaran.
Padahal, revolusi mental adalah sebuah jargon, istilah khusus untuk kalangan tertentu. Tentu saja, karena istilah, apalagi khusus pula, sifatnya abstrak. Jadi, mestinya, bukan sosialisasi yang diperlukan, tapi kerja-kerja konkret, agar yang abstrak itu maujud di kehidupan nyata, di tengah masyarakat, misalnya dengan membuat perpustakaan yang bukan 24 jam di setiap desa, biar yang suka begadang punya tempat yang bisa digunakan untuk begadang plus mendapat ilmu pengetahuan. Karena, kata Bang Rhoma Irama, begadang boleh saja kalau ada perlunya. Jreng! (Dan/Pur/pribuminews.com)