JABARSATU.COM – Hakim Tati Hadiati menegur Mudzakir, pakar hukum pidana yang didatangkan sebagai saksi ahli oleh tim pengacara mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, dalam sidang gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (2/4/2015). Teguran disampaikan ketika Mudzakir menyinggung kinerja aparat penegak hukum lain.
Hal itu terjadi ketika salah satu anggota tim pengacara Suryadharma, Andreas Nahot, mengajukan pertanyaan kepada Mudzakir tentang wewenang limitatif lembaga praperadilan yang diatur di dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika merujuk pada pasal tersebut, maka lembaga praperadilan tidak diperkenankan menyidangkan persidangan atas gugatan penetapan tersangka seseorang.
“Pasal 77 bisa tidak menjadi tidak limitatif dari sisi tinjauan filosofis?” kata Andreas saat persidangan.
Mudzakir menjawab dengan memberi contoh saat dirinya diminta menjadi saksi ahli dalam sebuah persidangan di Batam beberapa waktu lalu. Saat itu, ia mengkritik kinerja penyidik yang menyita sejumlah barang milik tersangka tindak pidana korupsi. Menurut dia, penyidik tersebut tak bisa menunjukkan hubungan sebab-akibat penyitaan barang dengan tindakan korupsi yang dilakukan pelaku. Penyidik hanya menyita barang yang diperoleh berdasarkan kronologi waktu tindakan korupsi itu terjadi.
“Penangkapan, penahanan, dan penyitaan merupakan bagian dari upaya paksa. Sementara, upaya paksa tidak disebutkan secara eksplisit di dalam UU. Saya sebutkan tadi bahwa akibat dari tindakan itu (penyitaan) menimbulkan kerugian dari pihak tersangka,” kata dia.
Menurut dia, ketentuan di dalam Pasal 77 KUHAP seharusnya mengikuti perkembangan zaman. Pasal 77 memang mengatur secara eksplisit wewenang lembaga praperadilan. Namun, pasal tersebut memiliki turunan di dalam Pasal 82 dan Pasal 95 KUHAP, yang secara implisit memperbolehkan penetapan seorang tersangka diajukan gugatan praperadilan.
Mudzakir menyoroti Pasal 44 pada Undang-Undang Komisi Pemberantasan, yang menyatakan bahwa sebelum menetapkan seorang tersangka, penyelidik harus menemukan dua alat bukti yang cukup. Adapun dua alat bukti itu berdasarkan tafsiran dari penyelidik.
“Dua alat bukti menurut UU KPK itu berdasarkan keyakinan penyidik. Begitu pula pengadilan, harus ada keyakinan dari hakim untuk memutus perkara dan ketentuan itu tidak tertulis di dalam UU,” katanya.
Hakim Tati langsung menegur Mudzakir. Menurut Tati, Mudzakir seharusnya tidak memberikan tanggapan mengenai kinerja penegak hukum lain. “Ahli tidak usah menilai kinerja penegak hukum lain. Tidak semua kinerja penyidik amburadul dan tidak semua penasihat hukum brengsek,” tegurnya.(K/JBS)