Menyusuri perjalanan hidup Jeihan Sukmantoro, seperti tak habis-habis. Dari ia miskin hidup tak keruan di Bandung sebagai mahasiswa ITB, hingga menjadi maestro seni rupa ternama di tanah air. Ada yang menarik dari sekian perjalanan hidupnya, ialah sepasang sepatu yang ia pakai semasa miskin, sepatu itu jadi saksi bisu kegetiran hidupnya. Ikuti kisah selanjutnya..
Oleh : Matdon
Semasa kuliah tahun 1960-an, Jeihan hanya punya sepasang sepatu lusuh, sudah sering disol karena jebol. Sepatu itulah yang setia menemani ia kuliah, tidur dan berjaalan kemana saja, atau pada saat ia pergi ke Jakarta untuk menemui seseorang yang berjanji membeli lukisannya.
Sesampai di Jakarta, orang yang menjanjikan itu tidak ada. Dengan hati kecewa Jeihan pulang jalan kaki menyusuri jalan di Jakarta, menahan perut yang lapar dan kepala pusing berat. Di tengah perjalanan ia melihat pedagang singkong. Jeihan pun membeli setengahnya karena uangnya takut tidak cukup untuk pulang ke Bandung.
Singkong itu ia makan dengan lahap,lalu ia minta dibelikan obat puyer untuk sakit kepala, setelah minum obat ia minta ijin pedagang singkong untuk sekedar istirahat. Tapi apa kata tukang singkong itu: “Ini tempat jualan bukan tempat istirahat”.
Jeihan sakit hatinya. Ia terus berjalan, sakit kepalanya tak dirasa, juga kaki sakit karena teralau jauh berjalan. Sepatu yang ia pakaipun seakan turut lelah, panas dan bau. Sampailah ia ke stasiun jatinegara. Sejumlah anak-anak berlarian disana, kaum gelandangan kota hilir mudik. Dalam benaknyha, ia berguman “Kalau saya tidak berhasil menaklukan kota dan merubah nasib, pasti jadi gelandangan seperti mereka”. Maka pulanglah ia ke Bandung.
***
Di Bandung kembali ke rumah kontrakan di Cihampelas, Jeihan terkadang tidur di samping kolam Cihampelas Bandung karena tak mampu membayar sewa uang kos, dan sepatu itu terus menemaninya.
Suatu hari Jeihan sakit keras, seperti biasa ia beli puyer untuk mengobatinya. Perutnya lapar tak keruan. Seorang temannya datang malah pinjem pisau untuk berburu anjing. Jeihan meminjamkannya dengan harapan temannya itu memberi daging anjing untuk dimakan. Malam hari temannya baru datang dan mengabarkan anjing bururnnya kabur. Jeihan pun semalaman harus tidur ditemani sepatunya dengan menahan lapar yang dasyat.
Rupanya temannya itu semalam berburu lagi dan dapat seekor anjing, dikasihnya Jeihan paha hewan itu. Jeihan bingung, antara lapar dan makanan yang ia yakini haram dimakan. Demi bertahan hidup, ia pun menusuk nusuk daging paha hewan itu dengan pisau lalu membakarnya. Seharian ia membakar daging tapi daging hewan itu tetap saja keras tak dapat dimakan.
Lapar mendera, daging terus dibakar sejak pagi. Bahkan sampai malam lagi, daging itu tak bisa dimakan. Jeihan lelah, dan kembali tertidur dengan peerut lapar , sepatu butut yang menemaninya. Ruang kamar selama seminggu pengap oleh bau dagnig bakar hewan itu.
***
Jeihan nikah awal bulan Oktober 1964 degan gadis pujaanya Sri Sunarsih, setelah nikah pun Jeihan yang miskin masih banting tulang berupaya menghidupi keluarga.
Suatu hari, setelah men sol sepatu bututunya, tak sengaja Jeihan menemukan kertas, sebuah undangan pameran di Galeri Prasta Pandawa di Blok M Jakarta, disitu tercantum nama yang mengundang Oetoyo Gumilang . Iapun segera kirim surat ke alamat yang tertera, bunyi isi surat itu pendeka saja “ Tuan, barangkali tuan perlu lukisan untuk mengisi galeri tuan!”.
Tak lama kemudian datang surat balasan, yang isinya agar Jeihan membawa lukisannya ke jakarta. Karena bingung tak punya ongkos ke Jakarta, ia menjual gitar dan membawa 5 lukisan ke Jakarta, Sesampai di Galeri, ia bertemu dengan salah seorang karyawan disana. Jeihan mengira itulah Oetoyo, iapun bercerita tentang lukisannya. Panjang lebar Jeihan menerangkan, si karyawan itu dengan pendek mengatakan, “saya bukan pak Oetoyo”.
Lalu karyawan itu masuk dan kembali lagi dan berkata, bahwa Oetoyo menyuruhnya ngasih uang ke Jeihan sebesar Rp.100 ribu, Tentu saja Jeihan gembira, uang 100 ribu di tahun 1964 sungguh sangat banyak. Uang itu ia simpan di saku, di selipkan dibawah celana dan di sepatu butunya.saking banyaknya.
Dengan gembira Jeihan pulang. Sesampai di rumah ia minta istrinya untuk menagmbil baju karena berhari hari tidak diganti. Ternyata semua baju sudah dijual, untuk keperluan sehari-hari selama jeihan di Jakarta. Karena merasa sudah punya uang Jeihan memanggil mertuanya yang sedang jualan bajigur, untuk membeli baju, sepatu dan keperluan apa saja, dengan bangga ia memperlihatkan uang banyak 100 ribu itu kepada istri dan mertuanya.
Selang beberapa minggu, uang habis, Jeihan kembali ke Jakarta membawa 10 lukisan, kali ini ia dikasih uang 200 ribu, berlipat ganda. Jeihan berpikir, pertama bawa 5 lukisan dikasih 100 ribu, kedua bawa 10 lukisan dikasih 200 ribu. Kalau ia bawa 20 lukisan pasti dibeli dengan harga yang besar juga.
Berangkatlah ia ke Jakarta dengan membawa 20 lukisan, uang berlipat ganda sudah di pelupuk mata. Tapi apa lacur, 20 lukisannya hanya dihargai 25 rupiah. Keringat yang seditkit waktu ia bawa 5 lukisan dibayar mahal, keringat banyak waktu ia bawa lukisan 20 buah dibayar murah. (begitu pikir jeihan waktu itu).
Dan Jeihan kembali ke Bandung membawa uang 25 ribu rupiah dan masih memakai sepatu butut yang sering di sol itu. Kini sepatu kenengan itu masih ada, disimpan di Studionya yang megah…