Pada bagian akhir Kisah Jeihan Sukmantoro (Bagian 1) disebutkan, kelak, Jeihan kecil yang sakit sakitan ini, menjadi seorang seniman Indonesia yang multitalenta. Selain pelukis, membuat patung-patung tokoh dari lempengan tembaga, Jeihan juga seorang penyair .
***
Oleh : Matdon
Jeihan lahir dalam dua budaya, yakni budaya pra-modern dan budaya modern. Budaya modern yang rasional dan budaya pra-modern yang spiritual. Dalam buku “Jeihan, Ambang Waras dan Gila”, Jacob Sumadjo mengatakan, kewarasan dan ketidakwarasan Jeihan berada pada dua budaya ini, spritualitas (pra-moderan) yang ia peroleh saat anak-anak dan remaja di Solo, sedangkan rasionalitas (modern) didapatnya saat menetap di Bandung, kuliah di ITB tahun (1961).
Jeihan mulai merebut hidup, lewat reputasi dan kapabilitasnya di dunia seni rupa dengan perjuangan keras, tekun dan tak kenal putus asa. Pendidikan seni lukis di Himpunan Budaya Surakarta, tahun 1953-1955 dijadikannya bekal saat kuliah di ITB.
Di Bandung lah, Jeihan mulai mematangkan jiwanya yang gelisah dan otaknya yang cerdas. Keterampilannya melukis ibarat buah yang dialiri nutrisi dari akar yang kuat, dan matang. Tapi Miskin.
Ia benar-benar miskin, sejak kuliah sampai pertengahan tahun 1980-an. Dari rumah kontrakan yang satu ke rumah kontrakan yang lain selalu menyimpan luka, karena tak mampu membayar. Rumah kontrakan pertamanya di Jln. Ancol Kawung, Bandung. Sering kali ia tidur di deket kolan Cihampelsa karena tak punya uang dan rumah kontrakan.
Meski di tahun 1970-an, Jeihan bersama penyair Remy Sylado merupakan pelopor gerakan puisi mBeling. Tapi Jeihan masih miskin.
Hebatnya ia tak putus asa, ia terus berjuang hidup. Karena dalam hidupnya ada sebuah pertanyaan dan pernyataan, “Apakah saya berpikir karena sakit kepala, atau karena sakit kepala saya berpikir?. Pertanyaan itu bergulir begitu saja lantaran sakit kepala ketika jatuh waktu kecil terus menerus menerpanya. Sebenarnya jawaban dari pertanyaan itu ialah ia berpikir karena penderitaanya itu, karena berpikir merupakan kegiatan mental manusia dalam menanggapi masalah-masalah hidupnya. (Jacob Sumardjo)
Pada tahapan pencarian keseniannya, Jeihan merumuskan tahap-tahap pencarian intelektual, emosional, dan spiritual. Hingga sampialah ia pada tahap spiritual setelah melintasi pendidikan formal di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB). Tapi ia masih miskin.
Ia dicaci dan dimaki oleh para kritikus seni lukis waktu itu, karena lukisannya ditukar dengan beras, demi menghidupi keluarga.
Jeihan kuliah selama 6 tahun tanpa pernah selesai. Karena ia sering bertengkar dengan dosen-dosennya, tidak pernah cocok dengan pemikiran dosen-dosennya.
Pernah suatu ketika ia menantang dosen-dosennya untuk bertarung melukis di lapangan terbuka. Cerita Jeihan Menantang ini terus beredar hingga kini. Ada mahasiswa ITB mengikuti jejaknya, sebut saja Rudi Anggoro. Entah mengikuti jejak Jeihan atau bukan, atau hanya kebetulan saja, akhirnya banyak mahsiswa ITB (di) keluarkan karena sikap memberontak seperti itu seperti Rax Salam, Mahin Inka, Semsar Siahaan, Arahmaiani, Eddo Sahir, Adella Iwanda, Banta Sinulingga.
***
Hm… Jeihan memang seniman Indonesia yang multitalenta. Tak pernah puas dengan karyanya. Hingga akhirnya ia menemukan jati dirinya lewat lukisan wajah bermata bolong. Dan berkesempatan pameran bersama S. Soedjojono tahun 1985. Ini adalah kesempatan emas Jeihan untuk kemudian ia sangat berarti bagi dunia seni rupa Indonesia. (Bersambung)