JABARSATU.COm – Sehari-hari, Syahri (58), pemulung sampah di bantaran Sungai Citarum. Giliran musim hujan, ia beralih profesi. Mendayung perahu menjadi pekerjaannya selama banjir melanda kawasan Baleendah, Kabupaten Bandung, seperti sekarang ini. Namun ia tak mematok tarif. Seikhlasnya saja.
“Rumah bapak juga kebanjiran, hampir seatap. Rumah bapak mah di dalam (jauh dari jalan raya), pinggir sungai,” ujar Syahri bercerita sambil mendayung.
Keluarganya kini mengungsi di GOR Baleendah. Sementara ia sendiri bolak balik mengecek rumahnya. Sambil bekerja, tentunya.
Ya lumayan, sehari bisa Rp 100 ribu. Tapi bapak mah da teu matok tarif, ah saiklasna we. Da namina ge nuju kamusibahan,” ujar bapak tua ini.
Bahkan, saat membantu evakuasi warga yang terjebak banjir di rumahnya, Syahri mengaku tak mendapat upah. Namun ia tak mengeluh. “Ya itu mah bantu-bantu sesama korban banjir we,” tuturnya.
Menurut Syahri, banjir kali ini terbesar dibandingkan tahun lalu, bahkan pada 2010 lalu yang tercatat sebagai banjir terbesar. “Ini wilayah yang enggak biasa banjir juga kena banjir sekarang mah. Asa sering setiap tahunnya juga. Dulu mah paling sekali setahun, sekarang mah bisa dua hingga tiga kali kebanjiran,” katanya.
Meski selama banjir ia mendapat ‘keuntungan’, Syahri mengaku ingin segera air yang merendam tiga kecamatan di Kabupaten Bandung surut. “Ah da jadi tukang parahu mah sesekali, bapak mah hoyong banjir ieu surut,” pungkasnya.(jbs/dtc/md)