JABARSATU — KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menilai banyak fakta-fakta persidangan kasus JIS yang diduga bertolak belakang dengan BAP yang disusun polisi. Misalnya, hasil visum rumah sakit dan keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan penuntut umum yang diduga semakin melemahkan cerita polisi.
“Penilaian ini berdasarkan hasil monitoring dan investigasi yang dilakukan Kontras,” kata koordinator Kontras Haris Azhar, Selasa (4/11/2014), di Jakarta.
Para terdakwa, kata Haris, diduga terpaksa mengakui perbuatan versi BAP karena tidak kuat menahan siksaan polisi. Seperti terdakwa Syahrial yang mengaku mengalami dugaan tindakan brutal dan kekerasan dari polisi mulai pukul 21.00 sampai 03.00, seusai ditahan April lalu. Karena tak kuat menanggung sakit, dia akhirnya terpaksa mengiyakan hal yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan.
Karena itu, kata Haris, penanganan kasus dugaan kekerasan seksual anak di Jakarta International School (JIS), menjadi salah satu bukti dugaan kecerobohan polisi. Polisi diduga tidak independen dan memaksakan kasus dari bukti-bukti yang lemah.
“Kasus JIS kembali mempertontonkan kepada kita bagaimana sebuah rekayasa terjadi. Kematian seorang pekerja kebersihan JIS dengan muka lebam menjadi bukti bahwa tindak kekerasan oleh polisi itu nyata terjadi,” kata Haris.
Kasus JIS memperlihatkan bagaimana polisi membentuk rangkaian cerita yang diduga tidak berdasarkan alat bukti. Guna memaksakan cerita, polisi diduga melakukan kekerasan dan penyiksaan terhadap pekerja kebersihan JIS, agar mengakui kasus kekerasan seksual itu.
“Karena polisi berada di bawah koordinasi langsung Presiden, bapak Jokowi seharusnya juga mencermati kasus ini. Dengan kondisi polisi saat ini masyarakat semakin takut berhubungan dengan polisi, karena polisinya sendiri menunjukkan ketidaktaatan pada hukum. Kasus JIS adalah salah satu bukti tindakan polisi yang tidak profesional dan memaksakan sebuah kasus dari fakta yang lemah,” imbau Haris.
Haris juga menilai, sebagai sekolah ternama dan berlabel asing, JIS diduga dijadikan sebagai panggung dan penghakiman institusi dengan membentuk sentimen asing. Padahal dari kasus ini, yang dianggapnya menjadi korban adalah para pekerja kebersihan yang secara ekonomi tidak mampu dengan akses politik dan informasi yang lemah.
Dalam kesempatan ini perwakilan orangtua murid JIS Ayu Rahmat menuturkan, sejak awal kasus di JIS ini sangat janggal dan tidak masuk akal.
Selain sistem dan kontrol di sekolah sangat ketat, cerita yang dimunculkan dalam BAP pekerja kebersihan itu mustahil terjadi.
“Bagaimana mungkin seorang anak berusia 6 tahun mengalami kekersan seksual lebih dari 13 kalo oleh 4 orang kondisi lubang pelepasnya masih normal. Itu bukti visum dari RSCM dan SOS Medika yang sudah disampaikan ke majelis hakim,” jelas Ayu.
Ayu menambahkan, di TK JIS banyak orangtua siswa yang terlibat dan memonitor kegiatan anak-anaknya. Karena itu menjadi sangat aneh kita ibu Pipit yang tidak pernah datang ke sekolah tiba-tiba melaporkan kasus ini.
“Kami bingung dengan semua cerita ini. Apalagi ada gugatan yang nilainya bisa digunakan untuk membeli seluruh tanah yang ditempati JIS. Ada apa ini semua,” katanya.
Ayu juga meminta Presiden Jokowi dan ibu Iriana untuk ikut memonitor kasus ini. Pasalnya kasus ini menjadi pertaruhan hidup mati bagi keluarga para terdakwa.
Para pekerja kebersihan ini merupakan tulang punggung keluarga dan sumber nafkah bagi keluarganya.
“Bayangkan jika kita dihukum oleh suatu perbuatan yang tidak pernah kita lakukan dan harus menanggungnya seumur hidup. Mereka punya anak, istri, orang tua dan anak asuh. Saya yakin dengan mengungkap kebenaran dalam kasus ini kita dapat menyelamatkan masa depan banyak keluarga dan orang-orang kecil yang mampu dan tidak bersalah ini,” imbuh Ayu.(JBS/PRB?TOM)